Monday, June 15, 2009

Yanto, Tega Sekali Bupati Ngorupsi Buku

Oleh Muhidin M Dahlan

Sehari-harinya Yanto menjual koran secara berantai dari warung ke warung di selingkungan Kraton Jogja.

Dan pagi itu, selepas dari pakansi di Istana Agung Jogjakarta, saya, Zen RS, dan Galuh, berada di Wijilan untuk melahap gudeg kering Mbok Slamet yang masih setia berjualan sejak 1964.

"Mosok ngorupsi buku. Tega sekali. Buku pelajaran lagi. Bermilyar-milyar," seru Yanto ketika saya bertanya ada tidak berita lanjutan korupsi buku Bupati Sleman Ibnu Subiyanto.

"Beritanya udah nggak ada Mas. Kan dia sudah dipenjara. Sultan sudah memecatnya," katanya.

Yanto, sebelum menjajal bisnis koran adalah pengamen, pengemis, dan gelandangan yang beroperasi di Wijilan hingga Pasar Ngasem. Tak ada rumah. Cuma numpang cuci piring di warung-warung yang memberinya makan secukupnya.

Tapi pagi itu, caranya menyebut angka korupsi buku dan dibuinya Ibnu menandakan bahwa Yanto membaca isi koran yang dijualnya.

Saya membeli dua koran lokal Jogja. Dan memang tak ada lagi berita Ibnu Subiyanto mengorup buku di mana sebelumnya nongkrong di halaman depan.

Barangkali Yanto benar, ia sudah dibui karena buku. Dan yang pasti akan dipecat dari kursinya sebagai bupati lewat jalur PDI Perjuangan.


[+baca-]

Monday, June 1, 2009

Ngorupsi Buku, Kok Terdakwanya (Bupati Sleman) Belum Dibui

Kalau sudah soal uang, tak peduli apa pun, embat. Termasuk buku. Mitos buku sebagai barang membuat hidup cerah, bagi manusia kelelawar, ancur sama sekali. Jika sudah uang, apa pun caranya, barang apa pun di depan, sikat saja.

Termasuk Bupati Sleman, Ibnu Subiyanto. Ia didakwa sebagai salah satu pelaku korupsi buku keroyokan di Jogja. Seperti diberitakan Kompas Edisi Jogja di halaman muka (1/6/2009) Ibnu terlibat dalam penunjukan langsung PT Balai Pustaka selaku pihak pengadaan buku pelajaran 2004-2005.

Nah, melalui audit BPKP (Badan pengawasan Keuangan dan Pembangunan), proyek itu mengalami penggelembungan pembiayaan sebesar Rp 12,1 M. Buat penerbit2 rumahan di Jogja, wow, dana sebesar itu besar amit.

Berikut kronik peristiwanya:

29 Juli 2008: Polda DIY menetapkan Ibnu Subiyanto, Bupati Sleman, sebagai tersangka dalam kasus pengadaan buku pelajaran di Sleman 2004-2005.

26 September 2008: Polda DIY mengirim surat izin pemeriksaan Ibnu kepada Presiden SBY. Ditunggu 60 hari kalau surat tak turun, penyidik akan langsung memeriksa.

24 Desember 2008: Kepala Polda DIY Birgjen (Pol) Untung Suharsono Radjab mengatakan, surat izin pemeriksaan Bupati Sleman dari presiden sudah turun, tapi surat penahanan belum.

13 April 2009: Penasehat hukum Ibnu mengajukan surat penundaan menghadap penyidik Polda DIY hingga 20 April. Alasannya, selaku Bupati, Ibnu punya tanggung jawab memantau hasil rekapitulasi suara Pemilu.

14 April 2009: Kejati DIY menerima pelimpahan BAP dan sejumlah bukti korupsi buku yang melibatkan Ibnu. Kejati DIY selanjutnya melimpahkan kasus ini ke PN Sleman.

1 Juni 2009: Asisten Sekda Bidang Pemerintahan Sleman Setya Budhi merilis kesanggupan Ibnu Subiyanto menghadiri persidangan yang dijadwalkan Pengadilan Sleman.
[+baca-]

Sunday, May 31, 2009

Wow, Indonesia No 1 Negara Asia Pasifik yang Klik Google Book

Siapa bilang masyarakat Indonesia memiliki minat baca yang rendah? Justru dari beberapa indikator yang ada, menunjukkan masyarakat memiliki minat baca yang tinggi. Buktinya, Indonesia menjadi negara no 1 di Asia Pasifik dan no 10 di dunia, negara yang paling sering mengakses google book search (fasilitas pencari buku di google-red).

Hal itu dikatakan Sekjen IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia) Pusat, Wanti Syaefullah usai Jumpa Pers Grand Launching Salam Book House, di Jalan Pasirwangi, Minggu (31/5/2009).

"Kami (IKAPI-red) bekerjasama dengan google book search, dan hasil itu setidaknya memperlihatkan minat masyarakat terhadap buku cukup tinggi. Padahal pengguna internet di Indonesia dibandingkan negara lain di Asia Pasifik lebih rendah," kata Wanti.

Indikator lain yang dicontohkan Wanti yaitu banyaknya jumlah pengunjung dan angka transaksi dalam setiap pameran buku. "Dari 50 pameran buku yang IKAPI buat di seluruh Indonesia setiap tahunnya, pengunjung selalu luar biasa dan angka transaksi mencapai miliaran rupiah," jelas Wanti.

Karena itu, Wanti menyatakan tak setuju jika minat baca masyarakat dinilai rendah. "Saya tidak setuju jika masyarakat dikatakan rendah minat bacanya, itu perlu dicermati lagi dengan melihat beberapa indikator ini," kata Wanti.

Namun Wanti tidak memungkiri masyarakat rendah dalam konsumsi atau pembelian buku karena harganya yang terkadang masih belum terjangkau semua lapisan. "Maka itu kami ingin harga buku lebih murah," kata Wanti.

Lebih lanjut wanti menjelaskan, dalam setahun ada lebih dari 12 ribu judul buku yang terbit di Indonesia. Data tersebut diperoleh Wanti dari Gramnedia yang dalam sebulan menampung 1.000 judul buku baru. "Gramedia sebagai barometer kami karena hampir semua buku baru ada di Gramedia. Mereka juga punya sistem pencatatan yang baik," ujar Wanti.

* Dilihat dari detik bandung; diunduh pada 31 Mei 2009.
[+baca-]

Asyik, Ada Kawasan Wisata Buku di Bandung

Kota Bandung kini memiliki wisata buku, bahkan disebut-sebut sebagai wisata buku pertama di Indonesia. Salam Book House (SBH) yang berada di Jalan Pasirwangi No 1 ini terdiri dari Book Store, Learning Center, Book Community, dan program wisata yang mengajak pengunjung melihat proses pembuatan buku dari hulu ke hilir.

"Wisatanya itu mengenalkan pengunjung mulai dari proses penulisan, penerbitan, percetakan sampai penjualan," ujar Bambang Trim Direktur Salam Book House dalam jumpa pers Grand Launching Salam Book House, di Salam Learning Center, Minggu (31/5/2009).

Bambang berharap wisata buku dengan konsep book town seperti ini dapat dicopy paste oleh daerah-daerah lain di Indonesia. "Seperti di Magelang ada kampung buku, Bandung jadi kota pertama dengan konsep book town," ujar Bambang.

Di lahan seluas kurang lebih 8 ribu meter persegi ini lengkap tersedia book center dengan 1.000 judul buku, learning center untuk tempat pendidikan dan pelatihan untuk menjadi penulis, penerbitan, dan percetakan. Perpustakaan juga direncanakan segera dibuat.

Meski masih didominasi buku-buku bertema islami namun Bambang mengatakan SBH tidak tertutup untuk semua jenis buku. "Semua penulis atau penerbit bisa mendisplay bukunya di SBH," ujar Bambang.

Sementara itu, Didin Hafiduddin seorang ulama yang merupakan Ketua Umum BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) yang juga meresmikan pembukaan SBH ini menuturkan, SBH dapat menjadi alternatif wisata yang biasanya hanya diisi dengan aspek kalbu. "Wisata ini juga disertai dengan aspek akal. Pendekatan yang komprehensif untuk pengembangan umat. Ada dzikir dan juga pikir," ujar Didin.

* Dimuat dari http://bandung.detik.com/read/2009/05/31/144153/1140149/486/wisata-buku-baru-di-kota-bandung; diunduh pada 31 Mei 2009
[+baca-]

Saturday, May 30, 2009

Pernyataan Sikap 4 Penulis Jogja atas Terbitnya Buku "Ilusi Negara Islam"

Berkaitan dengan terbitnya buku “Ilusi Negara Islam” yang mengundang kontroversi, dengan ini kami ingin memberikan klarifikasi sekaligus pernyataan terkait dengan substansi buku tersebut:

1. Materi (isi) buku yang disajikan di dalamnya bukanlah hasil riset dan karya kami dan karena itu kami tidak mungkin mengakui sebagai hasil penelitian kami. Padahal di dalam buku tersebut kami disebut sebagai peneliti.

2. Di dalam proses penerbitan buku tersebut, kami tidak pernah diajak dialog di dalam proses menganalisis data dan membuat laporan penelitian sampai penerbitan menjadi sebuah buku.

3. Bahkan dalam proses pengumpulan data, beberapa nama yang di buku tersebut dicantumkan sebagai peneliti, jauh hari sudah mengundurkan diri, yakni saudara Nur Khalik Ridwan dan Abdur Rozaki, sehingga tidak terlibat lagi di dalam tahapan penelitian selajutnya, mulai dari pengumpulan data, analisis data, penulisan laporan sampai pada penerbitan buku.

4. Kami melihat buku “Ilusi Negara Islam” itu, tujuannya telah bergeser dari riset yang semula bertujuan akademik pada tujuan politis dengan cara tetap mencantumkan nama-nama peneliti yang sebelumnya sudah mengundurkan diri, namun namanya tetap dicantumkan sebagai peneliti (dan menyimpang dari desain awal penelitian).

5. Kondisi ini diperkuat oleh kesaksian hampir semua peneliti daerah, yang namanya tercantum di dalam buku tersebut, tidak pernah pula diajak untuk berdialog untuk menganalisis data temuan di lapangan dalam kerangka laporan hasil penelitian yang utuh. Para peneliti daerah namanya dicatut hanya sebagai legitimasi politis dari kepentingan pihak asing sebagaimana yang dilakukan oleh Holland Taylor dari Lib for All, Amerika Serikat yang begitu dominan bekerja di dalam kepentingan riset dan penerbitan buku tersebut.

6. Kami menuntut kepada pihak Lib for All agar menarik peredaran buku tersebut jika tetap mencantumkan nama-nama kami. Kami menghimbau kepada para peneliti dan intelektual Indonesia untuk lebih berhati-hati dan tidak mudah diperalat dan dimanipulasi oleh kepentingan agen intelektual asing yang bekerja di Indonesia tercinta.


Yogyakarta, Jumat, 25 Mei 2009

Atas nama yang dicantumkan sebagai peneliti dalam buku “Ilusi Negara Islam”

Dr. Zuli Qodir | Abdur Rozaki, M.Si | Laode Arham, S.S. | Nur Khalik Ridwan,S.Ag

* Diunduh dari situs www.politikana.com edisi 25 Mei 2009
[+baca-]

Buku 'Ilusi Negara Islam' Dinilai Mengadu Domba Umat

Empat Peneliti asal Yogyakarta, Zuli Qodir, Adur Rozaki, Laode Arham, Nur Khalik Ridwan, memrotes isi buku 'Ilusi Negara Islam' yang diterbitkan The Wahid Istitute, Maarif Institute dan Gerakan Bhineka Tunggal Ika. Buku itu dinilai tidak sesuai dengan yang diteliti dan isinya mengadu domba umat Islam.

"Saya tidak berani lagi pulang ke Madura, karena terbitnya buku ini. Bisa-bisa saya dikalungi clurit karena buku ini mengadu domba umat Islam,'' kata Abdur Rozaki, Yogyakarta, dikutip dari Republika Online, Senin (25/5).

Dijelaskan Zuli , isi buku 'Ilusi Negara Islam' bukan merupakan hasil penelitiannya meskipun mereka disebut sebagai penelitinya. Sebab, isi dari buku tersebut telah menyimpang dari yang mereka teliti. Selain itu, pihaknya juga tidak dilibatkan dalam proses penerbitan.

''Kami tidak pernah diajak dialog di dalam proses menganalisis data dan membuat laporan peneliltian sampai penerbitan menjadi sebuah buku,'' kata Zuli.

Bahkan, lanjut Zuli, dalam proses pengumpulan data, beberapa nama yang dicantumkan dalam buku tersebut sebagai peneliti jauh hari sudah mengundurkan diri namun masih dicantumkan, seperti Khalik Ridwan dan Abdur Rozaki. Sehingga keduanya sudah tidak terlibat lagi dalam tahap penelitian mulai dari pengumpulan data, analisis data, penulisan laporan hingga penerbitan buku.

Kata Zuli, tujuan penerbitan buku 'Ilusi Negara Islam' telah bergeser dari riset yang semula bertujuan akademik kepada politis. Kondisi ini diperkuat hampir semua peneliti daerah yang namanya tercantum dalam buku tersebut tidak pernah diajak untuk berdialog menganalisis temuannya dalam kerangka laporan hasil penelitian yang utuh.

''Para peneliti daerah namanya dicatut hanya sebagai legitimasi politis dari kepentingan pihak asing. Sebagaimana dilakukan Holland Taylor dari Lib for All, Amerika Serikat yang begitu dominan bekerja dalam kepentingan riset dan penerbitan buku ini.

Karena itu, peneliti Yogyakarta menuntut kepada Lib for All untuk menarik peredaran buku tersebut jika tetap mencantumkan nama-nama peneliti Yogyakarta. ''Kami mengimbau kepada para peneliti dan intelektual Indonesia untuk lebih berhati-hati dan tidak mudah diperalat dan dimanipulasi kepentingan agen intelektual asing yang bekerja di Indonesia,'' tandasnya.

Bahkan, yang aneh dari peneribatan buku tersebut adalah pencantuman KH Abdurahman Wahid atau Gus Dur sebagai editornya. Padahal, selama ini Gus Dur terganggu penglihatannya sehingga tidak mungkin Gus Dur bisa mengeditnya. ''Ini sudah kebablasan,'' kata Abdur Rozaki.

Sementara, Ahmad Suadey, Direktur The Wahid Institute kepada Zuli Qodir mengirim SMS bahwa dirinya tidak tahu persis isi buku 'Ilusi Negara Islam' yang diterbitkannya. Karena itu, dirinya merasa kaget ketika mendapat protes dari peneliti Yogyakarta.

''Aku malah baru tahu ini. Kalau gitu perlu klarifikasi ke Lib for All. Kalau perlu teman-teman bikin nota protes tertulis. Aku enggak keberatan karena saya tidak berhubungan dengan isi sama sekali,'' kata Ahmad Suaedy.

* Diunduh dari: http://www.nu.or.id/page.php; Selasa, 26 Mei 2009 04:09
[+baca-]

Kebijakan Buku Elektronik Diminta Diteliti

Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) meminta agar kebijakan buku sekolah elektronik diteliti. Benarkah buku menjadi lebih murah, terdistribusi dengan baik, dan bisakah kebijakan itu menghidupi toko buku. Ketua Ikapi Setia Dharma Madjid menilai kebijakan itu belum terbukti efektivitasnya.

Ikatan Penerbit, kata Setia, berharap perguruan tinggi mau membantu melakukan penelitian ini.

“Jika buku sekolah elektronik terbukti efektif, anggota Ikapi siap untuk tidak menerbitkan buku teks pelajaran lagi,” kata dia seusai Peringatan Hari Buku Nasional 2009 di gedung Ikapi, Jakarta, kemarin.

Namun, ia melanjutkan, jika kebijakan itu hanya digunakan segelintir siswa, pemerintah diminta mengevaluasi program tersebut.

Menurut dia, kebijakan pemerintah seharusnya tidak hanya berpihak kepada masyarakat dan pemakai buku, tapi juga harus mempedulikan nasib penerbit dan toko buku.

Penerbit, kata Setia, dirugikan karena dilarang menjual buku ke sekolah. Sebelumnya, kata dia, penerbit dibolehkan menjual buku.

Kebijakan ini berhenti setelah pemerintah, melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 2 Tahun 2008 tentang Buku, melarang penerbit menjual buku di sekolah.

Untuk memenuhi kebutuhan buku di sekolah, pemerintah membeli langsung hak cipta buku dari penulis dan menyebarluaskan buku melalui Internet.

Guru, murid, dan kepala sekolah dibolehkan mengunduh buku, mencetaknya, juga memperjualbelikan buku dengan harga yang telah ditetapkan pemerintah.

Selama ini, kata Setia, sebanyak 250 dari 920 penerbit anggota Ikatan Penerbit memproduksi buku teks pelajaran. Jumlah karyawan mereka mencapai 30 ribu orang. Akibat kebijakan pemerintah yang membeli hak cipta buku, Ikapi menaksir ada 60 persen karyawan penerbitan yang akan dirumahkan.

Di industri penerbitan, ia menjelaskan, lebih dari separuh karyawan berada di bagian marketing dan sisanya di bagian editorial serta penunjang lainnya. "Marketing tidak diperlukan lagi karena penerbit tidak boleh jualan. Sampai sekarang sudah 7.000-an karyawan yang dipecat," kata dia.

Pemerintah, kata dia, tidak memikirkan akibat yang ditanggung penerbit saat mengambil kebijakan. Ia merujuk pada kebijakan tahun 2005 bahwa buku pelajaran berlaku selama lima tahun. Setelah penerbit menyediakan stok buku, pemerintah mengeluarkan kebijakan baru bahwa yang boleh dipakai hanya buku sekolah elektronik. Penerbit, kata dia, langsung merugi.

* Diketik dari Harian Koran Tempo Edisi 20 Mei 2009
[+baca-]

Vonis Aneh Surat Pembaca

Sungguh keterlaluan: seorang penulis surat pembaca terkena vonis penjara. Belum pernah selama ini penulis surat pembaca harus menerima hukuman pidana.

Kasus yang membuat kita prihatin ini dimulai dari sepucuk surat yang melayang ke meja redaksi beberapa media, setahun lalu. Penulisnya—Fifi Tanang, Kho Seng Seng, Pan Esther, dan Kwee Men Luang—mengirim antara lain ke harian Warta Kota.

Dalam surat Fifi itu diterangkan bahwa apartemen yang dibelinya, juga kios yang dibeli tiga rekannya, ternyata berstatus hak guna bangunan di atas hak pengelolaan lahan, bukan hak guna bangunan murni. Itu artinya, Fifi dan konsumen lain bukan pemilik, melainkan penyewa kios.

Selain menulis surat pembaca, empat orang itu juga mengadukan pengembang PT Duta Pertiwi ke polisi.

Surat pembaca yang ternyata muncul hanya di Warta Kota itu membuat manajemen PT Duta Pertiwi tersinggung. Tak hanya melayangkan tanggapan, Duta Pertiwi juga memperkarakan Fifi dan ketiga yang lain ke meja hijau.

Selain menggugat Fifi secara perdata, Duta Pertiwi juga melaporkan perempuan ini ke polisi karena dianggap telah melakukan pencemaran nama baik. Dua pekan lalu, hakim menjatuhkan vonis hukuman enam bulan penjara.

Vonis ini tentu saja sangat berlebihan dan mencederai kebebasan mengungkapkan pendapat.

Meskipun Fifi naik banding, vonis itu sudah membuat masyarakat takut mencurahkan problemnya lantaran ancaman penjara. Surat pembaca diciptakan bukan hanya untuk alat komunikasi antara redaksi dan pembaca, tetapi juga sebuah wadah untuk pembaca menyalurkan problem keseharian mereka.

Rubrik itu dibuka untuk menampung kekecewaan warga negara sebagai konsumen produk hingga mereka yang menjadi korban penipuan. Berbagai media—termasuk majalah ini—menempatkan rubrik surat pembaca pada bagian awal untuk menunjukkan pentingnya suara masyarakat itu.

Vonis itu pun sesungguhnya mengandung kejanggalan. Pertama, surat pembaca itu dimuat di harian Warta Kota, tapi hakim menyatakan Fifi mencemarkan nama baik lewat surat pembaca di harian Investor Daily. Kedua, seharusnya hakim tidak menyidangkan kasus ini dengan menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, melainkan dengan Undang-Undang Pers.

Aturan hukum pers itu memiliki prosedur baku jika terjadi perselisihan seperti ini. Pihak yang merasa dipojokkan bisa membuat bantahan berupa surat pembaca. Jika masih tak puas, kasus bisa dibawa ke Dewan Pers, sebagai lembaga independen yang melakukan mediasi terhadap pihak yang berselisih. Jika masih juga tak puas, jalur pengadilan boleh ditempuh.

Di pengadilan pun ada aturan yang perlu diperhatikan hakim. Tahun lalu terbit Surat Edaran Mahkamah Agung yang berisi anjuran kepada para ketua pengadilan agar meminta keterangan saksi ahli dari Dewan Pers dalam memproses delik pers.

Dewan Pers memang pihak yang lebih mengetahui seluk-beluk pers secara teori dan praktek. Dengan meminta kesaksian ahli dari Dewan Pers, Mahkamah Agung berharap hakim memperoleh gambaran obyektif tentang ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan Undang-Undang Pers.

Vonis terhadap Fifi menunjukkan hakim bukan saja tak menggubris anjuran Mahkamah Agung, melainkan juga tak mengindahkan Undang-Undang Pers. Padahal yang harus bertanggung jawab terhadap surat pembaca adalah pemimpin redaksi.

Tambahan lagi, dua penulis surat pembaca yang lain telah divonis bebas, satu lagi dihukum denda. Pengadilan tingkat banding harus mengoreksi vonis berlebih-lebihan ini.

* Diketik ulang dari Majalah Mingguan TEMPO edisi 13/XXXVIII 18 Mei 2009
[+baca-]

Tuesday, April 28, 2009

Pemerintah Akan Beli 191 Hak Cipta Buku

Pemerintah akan membeli sekitar 340-500 hak cipta buku teks pelajaran untuk SD, SMP, SMA, dan SMK tahun 2009 ini. Pada tahap pertama, hak cipta buku yang dibeli sebanyak 191 judul buku.

Kepala Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional Sugijanto mengungkapkan, Selasa (28/4), buku-buku yang telah dibeli hak ciptanya itu selanjutnya akan ditambahkan ke Jaringan Pendidikan Nasional (Jardiknas) berbasis internet pada tahun 2009. Dengan demikian, diharapkan total buku teks yang dibeli hak ciptanya mencapai 1.000 judul sejak tahun 2007 hingga 2009.

Sugijanto mengatakan, sejauh ini alokasi anggaran untuk pembelian hak cipta buku tersebut dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2009 sebesar Rp 46 miliar.

Lolos BSNP

Menurut Sugijanto, buku-buku yang akan dibeli hak ciptanya tersebut terlebih dahulu harus lolos penilaian Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dan Pusat Perbukuan.

Buku-buku yang dibeli hak ciptanya tahun ini, antara lain, untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Ilmu Pengetahuan Sosial, Ilmu Pengetahuan Alam, Pendidikan Kewarganegaraan, Biologi, Ekonomi, Fisika, Geografi, Sejarah, Kimia, dan Matematika.

Sejauh ini terdapat 407 teks buku pelajaran yang sudah masuk Jardiknas dan dapat diakses gratis oleh masyarakat. Buku-buku tersebut juga dicetak oleh sejumlah percetakan dan dijual dengan harga eceran tertinggi yang ditentukan oleh pemerintah.

Menurut Sugijanto, harga buku yang telah dibeli hak ciptanya tersebut 30 persen lebih murah dibandingkan dengan buku yang tidak dibeli hak ciptanya dan beredar di pasaran.

Dia menambahkan, kualitas naskah yang masuk semakin membaik. Sebagai gambaran, sepanjang tahun 2007 dan 2008 terdapat sekitar 5.000 naskah buku pelajaran yang masuk untuk dinilai. Sekitar 60 persen naskah sudah memenuhi persyaratan.

Naskah-naskah yang belum layak umumnya bermasalah di bagian materi atau substansi. Selain materi, unsur penilaian lainnya ialah cara penyajian, grafis, dan kebahasaan. Sebelum tahun 2007, buku yang masuk untuk penilaian hanya sekitar 15-30 persen yang layak.

Sejauh ini terdapat 2.880 judul buku yang sudah lolos penilaian. Namun, belum tentu semua dibeli hak ciptanya.

[digunting dari Harian Kompas Edisi 29 April 2009]
[+baca-]

Hari Sastra Nasional Diwacanakan

Perlu atau tidak adanya Hari Sastra Nasional menjadi wacana yang mengemuka pada acara Pesta Puisi yang diadakan di Balai Soedjatmoko Solo, Selasa (28/4). Pesta Puisi itu diselenggarakan untuk menandai peringatan meninggalnya penyair Chairil Anwar 60 tahun silam.

Penyair Raudal Tanjung Banua yang mengantar acara ”Ngobrol Bareng Sapardi Djoko Damono” mengemukakan perlunya kita memiliki Hari Sastra Nasional. Diakui, gagasan menjadikan 28 April sebagai Hari Sastra Nasional (HSN) pernah memunculkan pro-kontra. HSN, kata Raudal, bisa dijadikan momentum bagi berbagai kalangan untuk menggairahkan kehidupan sastra di Tanah Air.

”Hari Sastra Nasional bisa menjadi perayaan bagi para kreator sastra untuk terus berkarya,” ujarnya. Ditambahkan, dengan HSN, pemerintah terdorong untuk lebih memasyarakatkan sastra, antara lain menyebarluaskan buku-buku sastra di sekolah- sekolah. Untuk itu, penerbitan buku-buku sastra perlu disubsidi.

Raudal menilai, pemerintah berstandar ganda terhadap bidang budaya di Tanah Air. Di satu sisi pemerintah ingin agar masyarakat mengapresiasi sastra, tetapi tidak ada kebijakan yang mendukung ke sana, seperti pembebasan pajak kertas, pajak buku, serta keringanan pajak bagi penulis buku.

Dalam pandangan Sapardi Djoko Damono, HSN mungkin diperlukan, tetapi jangan menjadi kegiatan rutin. ”Kalau minta kepada pemerintah untuk menetapkan Hari Sastra Nasional, jangan sampai hanya menjadi kegiatan rutin, apalagi sekadar seremonial. Peringatan Hari Sastra Nasional diadakan kalau memang ada permasalahan yang perlu diangkat,” ujarnya.

Di bagian lain, Sapardi menekankan bahwa pendidikan sastra yang paling efektif adalah dengan menyodorkan sebanyak mungkin karya sastra kepada anak didik, bukan dengan teori sastra. ”Berikan mereka buku-buku sastra untuk dibaca, apa saja,” kata Sapardi, yang mengaku tidak khawatir akan kecenderungan remaja sekarang yang lebih suka membaca komik.

Menurut dia, kesalahan dalam pendidikan sastra, baik di sekolah maupun hingga perguruan tinggi, adalah terlalu banyak memberikan teori. Dalam kesempatan itu, Sapardi (69) meluncurkan buku antologi puisinya yang mutakhir, ”Kolam”.

[digunting dari Harian Kompas Edisi 29 April 2009]
[+baca-]