Saturday, May 30, 2009

Kebijakan Buku Elektronik Diminta Diteliti

Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) meminta agar kebijakan buku sekolah elektronik diteliti. Benarkah buku menjadi lebih murah, terdistribusi dengan baik, dan bisakah kebijakan itu menghidupi toko buku. Ketua Ikapi Setia Dharma Madjid menilai kebijakan itu belum terbukti efektivitasnya.

Ikatan Penerbit, kata Setia, berharap perguruan tinggi mau membantu melakukan penelitian ini.

“Jika buku sekolah elektronik terbukti efektif, anggota Ikapi siap untuk tidak menerbitkan buku teks pelajaran lagi,” kata dia seusai Peringatan Hari Buku Nasional 2009 di gedung Ikapi, Jakarta, kemarin.

Namun, ia melanjutkan, jika kebijakan itu hanya digunakan segelintir siswa, pemerintah diminta mengevaluasi program tersebut.

Menurut dia, kebijakan pemerintah seharusnya tidak hanya berpihak kepada masyarakat dan pemakai buku, tapi juga harus mempedulikan nasib penerbit dan toko buku.

Penerbit, kata Setia, dirugikan karena dilarang menjual buku ke sekolah. Sebelumnya, kata dia, penerbit dibolehkan menjual buku.

Kebijakan ini berhenti setelah pemerintah, melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 2 Tahun 2008 tentang Buku, melarang penerbit menjual buku di sekolah.

Untuk memenuhi kebutuhan buku di sekolah, pemerintah membeli langsung hak cipta buku dari penulis dan menyebarluaskan buku melalui Internet.

Guru, murid, dan kepala sekolah dibolehkan mengunduh buku, mencetaknya, juga memperjualbelikan buku dengan harga yang telah ditetapkan pemerintah.

Selama ini, kata Setia, sebanyak 250 dari 920 penerbit anggota Ikatan Penerbit memproduksi buku teks pelajaran. Jumlah karyawan mereka mencapai 30 ribu orang. Akibat kebijakan pemerintah yang membeli hak cipta buku, Ikapi menaksir ada 60 persen karyawan penerbitan yang akan dirumahkan.

Di industri penerbitan, ia menjelaskan, lebih dari separuh karyawan berada di bagian marketing dan sisanya di bagian editorial serta penunjang lainnya. "Marketing tidak diperlukan lagi karena penerbit tidak boleh jualan. Sampai sekarang sudah 7.000-an karyawan yang dipecat," kata dia.

Pemerintah, kata dia, tidak memikirkan akibat yang ditanggung penerbit saat mengambil kebijakan. Ia merujuk pada kebijakan tahun 2005 bahwa buku pelajaran berlaku selama lima tahun. Setelah penerbit menyediakan stok buku, pemerintah mengeluarkan kebijakan baru bahwa yang boleh dipakai hanya buku sekolah elektronik. Penerbit, kata dia, langsung merugi.

* Diketik dari Harian Koran Tempo Edisi 20 Mei 2009

No comments:

Post a Comment