IBOEKOE Jogja--28 Maret 2009, di ruang sidang Pusat Sejarah dan Etika Politik (Pusdep) Universitas Sanata Dharma, dilangsungkan perbincangan buku kumpulan cerita Martin Aleida yang terbaru berjudul: “Mati Baik-Baik, Kawan”.
Judulnya asyik ya. Saya senang dengan judulnya. Sederhana sih. Tapi kayak nelangsa. Mungkin karena yang menuliskannya adalah korban yang pernah mencicipi dinginnya jeruji besi sebuah orde. Buku ini Diterbitkan oleh AKAR Indonesia. Tapi lembaga ini nggak ada hubungan sama team pemenang capres Ratna Sarumpaet. Akar yang ini dikelola Mas Joni Ariadinata, Mas Raudal Tanjung Banua, Mbak Nur Wahida Idris.
Acara dibuka oleh tuan rumah Rama Baskara T Wardaya. Oala, Mas Puthut EA sebagai moderator ternyata datang terlambat. Alasan ideologisnya itu yang nggak terlalu keren: tertidur walau sudah membunyikan alarm (gimana dengar naruh alarmnya di loteng dapur, sementara yang mau dibangunin tidurnya di teras rumah tetangga yang sebelahnya lagi).
Peserta yang datang luar biasa banyaknya… 1000 orang kurang. Bang Martin dipersilakan memberi testimoni ringkas tentang jalan berkaryanya juga kehidupan selama di Majalah Ekspres dan Tempo. Bang Martin sempet sesenggukan ketika menceritakan kembali kesaksiannya bagaimana seorang istri dari anggota partai yang anaknya baru dua bulan turut di gelandang masuk jeruji. Kisah itu ada di Ode Untuk Selembar KTP.
Lalu giliran Katrin Bandel didaulat bercerita tentang pandangannya atas cerita Bung Martin Aleida dengan melakukan bandingan-bandingan yang tajam pada karya2 Ahmad Tohari (Ronggeng Dukuh Paruk), karya Umar Kayam (Sri Sumarah dan Bawuk), karya Wildan Yatim (Pergolakan), dan karya Ayu Utami (Larung).
Giliran saya kemudian hanya melengkapi informasi. Karena memang posisi saya diundang di depan untuk melengkapi. Dibuka dengan menjelaskan satu demi satu asas berkarya Lekra ”1-5-1” yang kemudian dikomentari Puthut EA dengan ”sinis” dan mengajukan kalau nggak salah formasi 4-4-3 milik AS Roma yang menurut saya inilah kesebelasan yang nggak bisa main bola. Buktinya, pekan lalu dibenamkan Juve 4-1 dengan permainan yg snagat membosankan dan tiada kejutan yang diciptakannya. Malu2in saja. Saling tangkis beberapa saat yang kemudian saya harus nyerah. Puthut adalah wasit yang megang pluit di tenggorokannya--seperti yg sering dia bilang--dengan dua kartu mati di saku kirinya (kuning dan merah). Untung pula mainnya bukan di stadion Olimpico semacam Tanda Baca yang dipunyainya, tapi di Pusdep, stadion Rama Baskara. Dan di mana-mana, gobloknya wasit, semakin dibantah, bisa-bisa dia kasih kartu kuning secara berurutan dalam waktu yg ringkes. Dan saya tahu posisi sebagai pemain yang mesti sopan, walau tangan kepengen mencekik kalau tak ingat fairplay.
Dalam kesempatan itu, saya hanya iseng ”menguji” apakah cerpen Bang Martin Aleida ini masih dalam garis ”1-5-1” atau sudah terjungkir ke sana kemari dan gelap mata secara tak senonoh, rumit dipahami, bergelap2 dengan ide dan hayalan sendiri. Dan hasilnya: karya Martin Muda atau Martin Subuh yang dulu bernama Nurlan dan Martin Tua atau Martin Magrib masih di jalur "1-5-1". Artinya, 1-5-1 memang sudah tertindik seperti tato dalam jiwa kepengarangannya dan sukar sekali membelot.
Diskusi berlangsung sekira 3.5 jam. Lama sekali ya. Tapi saya kira berhasil karena peserta bertahan di tempat untuk waktu selama itu.
Terimakasih kepada AKAR yang mengundang. Kepada Mas Joni, Mas Raudal, Bang Martin Aleida/Nurlan, Mbak Ida, Dek Meutia Sukma. Dan saya baru tahu bahwa setelah berbulan-bulan lamanya saya tak menemui dan berkumpul dengan komunitas karena terbenam di kursi pilot Kronik Pemilu 2009 dan Kronik Indonesia. Tadi senang sekali ketemu lagi dengan Bang Saut (lawan laten GM dan Utan Kayu), Mas Faiz, Mas Hairus Salim, Kawan Yudi, Kawan Iman, Mas Fikar dari Aceh yang baru pertama kali ketemu. Juga ada Dek Iwan yang datang jauh-jauh dari Kediri. Nggak bisa disebut satu per satu.
Yang bisa disebut satu per satu adalah buku-buku yang berhasil saya gondol pulang. Tiada kebanggaan yang lebih selain nggondol buku banyak2 dari acara-acara buku. Juga jamuan di Warung Arek2 Surabaya dengan beras merah dan sop tulang sapi yang gurih.
Jika rak adalah kuburan bagi buku2, maka inilah daftar jenazah2 baru yang bersiap memasuki kuburan buku yang saya jaga siang malam. ”Mati baik-baik, ya kawan!” Terimakasih banyak kepada yang telah ”menitipkan” buku-buku ini ke pemakaman yang tepat.
1. Mati Baik-Baik, Kawan karya Martin Aleida (AKAR Indonesia, 2008: 144 hlm)
2. Matinya Seorang Guru Mengaji (JCI Edisi 07, AKAR Indonesia: 249 hlm)
3. Ratusan Mata di Mana-mana ((JCI Edisi 09, AKAR Indonesia: 182 hlm)
4. Regenerasi: Panggung Muda Cerpen Indonesia (JCI Edisi 10, AKAR Indonesia: 296 hlm)
5. Rumah Lebah, Ruang Puisi #1 (Komunitas Rumah Lebah Jogjakarta: 168 hlm)
6. Seabad Kelahiran Empu Karawitan Ki Tjokrowarsito karya ST Sunardi dkk (Maskarja, tt: 124 hlm; hardcover)
7. Hutan Kaya, Rakyat Melarat: Penguasaan Sumberdaya dan Perlawanan di Jawa karya Nancy L Peluso (terj. Landung Simatupang, Konphalindo, 2006: xxviii+412)
8. Dari Kalong sampai Pulau Buru: 11 Tahun dalam Sekapan, Penjara, Pembuangan, dan Kerja Rodi sketsa karya A Gumelar Demokrasno (Pusdep, 2006: xxiv+142)
9. Buletin Pusdep Edisi Oktober 2007 dan November 2008.
::muhidin m dahlan
juru tulis dari IBOEKOE
Saturday, March 28, 2009
Diskusi Buku "Mati Baik-Baik, Kawan karya Martin Aleida
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
:: Awal :: Kliping :: Esai :: Resensi :: Tips :: Tokoh :: Perpustakaan :: Penerbit :: Suplemen Khusus :: Buku Baru :: Undang-Undang ::
No comments:
Post a Comment