Saturday, May 17, 2008

Tintin, Album Dokumentasi Abad Ke-20

Kebetulan yang tepat jika Gramedia Pustaka Utama menerbitkan kembali kisah Tintin 25 tahun setelah meninggalnya Hergé (wafat 3 Mei 1983). Ini cukup jadi pertanda, Tintin layak disebut karya klasik yang tidak ikut terkubur bersama penciptanya, sejajar dengan kisah Tom Sawyer (Mark Twain) atau Winnetou (Karl May).

Bagi yang baru mengenal Tintin, kesan yang timbul ini komik untuk anak-anak. Di berbagai toko buku, setidaknya di Indonesia, Tintin dipajang di antara deretan komik atau fiksi anak-anak. Padahal, Tintin boleh dibilang salah satu perintis genre novel grafis yang punya segmen pembaca dewasa.

Dari sisi keluasannya, Tintin mengangkat kolonialisasi Eropa di Afrika (Tintin di Congo), berperang dengan jaringan kriminal di Amerika Serikat (Tintin di Amerika), berada di tengah perlawanan bangsa China melawan invasi Jepang (Lotus Biru), atau berada di antara pergolakan politik Amerika Selatan (Kuping Belah).

Di sisi petualangan, Tintin jadi orang pertama yang berjalan di bulan (Petualangan di Bulan), menyelam di dasar samudra (Rahasia Unicorn), ke Himalaya (Tintin di Tibet), hingga berada di pesawat UFO (Penerbangan 714 ke Sydney). Tak pelak, Tintin adalah kisah mengenai abad ke-20. Tidak ada dokumentasi sejarah abad ke-20 yang bisa ditampilkan lebih menarik lagi daripada kisah Tintin. Alasan inilah yang membuat Tintin layak jadi ikon klasik abad ke-20.

Secara teknik, keunggulan Hergé menjadikan Tintin karya berkelas klasik adalah pada penggambaran karakter tokoh yang kuat. Kapten Haddock yang pemabuk dan gemar memaki, Profesor Calculus yang budek, dan detektif kembar yang dogol. Tarikan grafis Hergé berciri garis tegas (clear line). Gambar yang dibuat Hergé kaya dengan detail yang didasarkan riset. Detail berbagai kendaraan, interior kapal, dan suasana pelabuhan, misalnya, didasarkan pada kenyataan yang sebenarnya. Begitu pula banyak gambar gedung dan bangunan yang dalam kenyataannya benar-benar ada, bukan cuma rekayasa Hergé.

Sindiran pada berbagai ideologi dituturkan dalam simbol-simbol cerdas, yang ketika dipahami, lebih akan membuat kita tertawa daripada mengerutkan dahi. Inilah kekuatan Hergé yang membuat Tintin pun disukai anak-anak. Keunggulan kelas maestro seperti itulah yang kini sukar dicari tandingannya.

Totor

Hergé sebetulnya adalah nama alias dari Georges Remi, kelahiran Brussels, 22 Mei 1907. Nama Hergé adalah kebalikan dari inisial namanya G-R menjadi R-G. Ketika Georges Remi duduk di bangku sekolah, ia ikut kegiatan kepanduan. Kelompok pandu ini kerap mengadakan perjalanan ke Spanyol, Austria, hingga Italia.

Dari sinilah hasrat petualangan Georges Remi lahir (Jean Marc dan Lofficier, 2002). Ketika Perang Dunia Pertama pecah, seniman muda ini menumpahkan kegalauannya dengan memenuhi pinggiran buku sekolahnya dengan gambar-gambar mengenai bocah kecil yang melawan tentara Jerman.

Di usia 19 tahun, Hergé muda mulai membuat Les Aventures De Totor (Petualangan Totor, seorang bocah pandu) di Le Boy-Scout Belge, sebuah publikasi gerakan kepanduan Belgia. Tiga tahun kemudian, pada 10 Januari 1929 di Le Petit Vingtieme, halaman sisipan anak-anak dari koran Le Vingtieme Siecle, Hergé meluncurkan Tintin di Sovyet sebagai reinkarnasi dari Totor. Bedanya, Totor adalah seorang bocah pandu, sedangkan Tintin seorang wartawan muda. Dari sinilah kisah Tintin bermula dan tanggal tersebut diproklamirkan sebagai hari kelahiran Tintin oleh kalangan fans Tintin di penjuru dunia.

Enam judul pertama Tintin yang diterbitkan GPU merupakan karya awal Hergé yang punya bobot kuat sebagai potret sosial politik di eranya. Salah satunya adalah Lotus Biru, kelanjutan dari Cerutu Sang Firaun yang mengangkat peredaran ganja dan opium di Asia.

Di kisah ini, Tchang Tchong-Jen (1905-1998), seorang mahasiswa asal China yang studi di Belgia, mulai mempengaruhi karya Hergé, terutama dalam pewarnaan menggunakan teknik air-brush. Teknik ini kemudian digunakan Hergé ketika mereproduksi Tintin dari hitam putih menjadi berwarna pada tahun 1940-an. Persahabatan Hergé-Tchang sedemikian kental hingga Tchang menjadi salah satu nama tokoh di Lotus Biru. Bahkan, Tintin di Tibet (1958) tak lain adalah manifestasi persahabatan mereka.

Menuai kecaman

Di Lotus Biru tampak sekali keberpihakan Hergé kepada bangsa China, terutama menyikapi invasi Jepang ke China, yang kemudian menuai protes dari konsul Jepang di Belgia. Ketika di dekade 1940-an Hergé menggambar ulang dan memberi warna kisah judul-judul awal Tintin, ia memutuskan tidak menggambar ulang Tintin di Sovyet. Alasannya, kisah Tintin pertama ini kasar dan tampak jelas sikap Hergé yang antikomunis dan anti-Rusia. Pengalamannya dengan Pemerintah Jepang membuat Hergé lebih hati-hati.

Namun, Tintin di Congo toh menuai kecaman di Eropa karena menggambarkan stereotip kolonial bangsa Eropa di Afrika. Tintin di Congo dianggap sama sekali tidak menggambarkan Afrika saat itu, melainkan lebih bagaimana orang Belgia memandang Afrika. Tak hanya itu, dalam aksinya di Afrika, kekasaran perilaku Tintin—menyiksa dan memburu binatang—pun masih mendominasi cerita. Ciri kekasaran di kedua kisah pertama Tintin ini sangat menonjol dibandingkan kisah-kisah berikutnya yang lebih menampakkan kecerdasan Hergé menyusun konspirasi alur dan plot cerita.

Tintin di Sovyet versi asli (hitam putih) baru diluncurkan kembali akhir tahun 1960-an karena rasa penasaran fans Tintin terhadap kisah pertama Tintin ini. Demikian pula, Tintin di Congo yang sempat ditolak oleh sejumlah penerbit di negara-negara lain, terjemahan bahasa Inggris untuk versi berwarnanya baru terbit resmi tahun 2005, itu pun diterbitkan sebagai Collector Edition.

Tintin In The Congo versi bahasa Inggris ini memuat pengantar pendek dari penerbit yang menjelaskan konteks latar belakang kisahnya. Sayangnya, Tintin terbitan GPU tidak memuat penjelasan atau pengantar yang bisa membantu orang mengapresiasi Tintin. Ketiadaan penjelasan ini bisa jadi akan menimbulkan pertanyaan pembaca yang masih ”awam” Tintin, seperti mengapa Tintin di Sovyet terbit hitam putih, apakah Tintin di Congo adalah karya terbaru Hergé, dan sebagainya.

Dari bahasa Perancis

Di Indonesia, serial ini bukan barang baru. Pada dekade 70 hingga 80-an, lewat penerbit Indira, Tintin sudah dikenal dan menjadi salah satu ”komik” yang digemari sebelum gempuran komik-komik Jepang. Dialog-dialognya pun populer, terutama makian Kapten Haddock.

Namun, justru makian itulah yang mungkin tidak akan sama pada terbitan GPU ini. Sebabnya, Tintin GPU memakai sumber asli berbahasa Perancis, sementara Tintin Indira bersumber pada terjemahan bahasa Inggris. Nama-nama tokoh pun ikut berubah. Detektif kembar Thompson dan Thomson yang berasal dari terjemahan bahasa Inggris kembali ke ”nama Perancis” mereka, Dupond dan Dupont.

Demikian pula, Snowy kembali menjadi Milou (diindonesiakan jadi Milo). Namun, nama Profesor Calculus tidak dikembalikan ke nama Perancisnya, Tryphon Tournesol, melainkan diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi Lakmus (tournesol dalam bahasa Perancis berarti kertas lakmus—kertas untuk percobaan kimia). Tidak hanya harus mengakrabkan diri dengan nama-nama baru, pembaca Tintin kini pun harus ”berjuang” membiasakan diri membaca huruf-huruf yang kecil.

Terlepas dari kekurangan teknis yang ada, keputusan GPU untuk menerbitkan Tintin di tengah arus komik Jepang kini perlu diberi apresiasi. Tidak hanya karena GPU menerbitkan Tintin sesuai dengan urutan yang ”benar” menurut Hergé, tetapi juga pada terbitan GPU inilah Tintin di Congo (versi berwarna) yang kontroversial itu terbit pertama kalinya dalam bahasa Indonesia. Selain itu, sebagai penutup seri ini, pembaca Indonesia akan bisa menyimak Tintin dan Alpha-Art yang merupakan dokumentasi sketsa kisah terakhir Tintin yang tidak sempat diselesaikan Hergé.

* BE Satrio, Penggemar Tintin
** Digunting dari Harian Kompas Edisi Minggu, 11 Mei 2008 | 01:23 WIB

No comments:

Post a Comment