Hari ini, 20 Mei 2008, di antara pusparagam acara peringatan Hari Kebangkitan Nasional yang sudah berusia seabad, di Jl Veteran I/32 Jakarta Pusat, dilangsungkan acara sederhana, peluncuran buku Kronik Seabad Kebangkitan Indonesia (1908-2008). Hadir sebagai pembicara adalah Anhar Gongong dan JB Sumarlin. Keduanya dalam acara itu bersepakat bahwa 21 buku yang diluncurkan dengan ketebalan 1.7 meter itu bahwa ini adalah projek raksasa. "Saya tak yakin bahwa ada sejarawan yang melakukan hal seraksasa ini. Hanya orang gila yang bisa melakukannya," kata Anhar Gonggong. "Saya takjub dengan kegiatan anak-anak ini. Belum ada buku seperti ini," tandas JB Sumarlin yang malam peluncuran tampak kalem dan mencoba menceritakan peran dia dalam kancah politik-ekonomi Orde Baru. Dalam Kronik Kebangkitan Indonesia, nama Sumarlin memang menjadi salah satu bintang.
Inilah riwayat buku Kronik Kebangkitan Indonesia itu. Dikerjakan bahu-membahu belasan anak muda berusia di bawah 25 tahun. Proyek sejenis pernah dilakukan Pramoedya Ananta Toer: menyusun kronik tentang Indonesia. Bedanya, jika Pram hanya menyusun kronik sepanjang empat tahun, belasan anak muda tadi menyusun kronik dari 1908-2008.
Salah satu karya Pramoedya--yang ironisnya tak banyak diapresiasi publik layaknya prosa-prosa yang ia tulis—adalah “Kronik Revolusi Indonesia”. Karya Pramoedya itu terdiri atas empat jilid yang terbagi dalam Kronik Revolusi tahun 1945, tahun 1946, tahun 1947 dan tahun 1948.
Ong Hok Ham, dalam pengantar yang ditulisnya untuk empat jilid “Kronik Revolusi Indonesia”, menyebut karya Pram itu sebagai karya yang hanya mungkin lahir dari ketekunan yang luar biasa.
Betapa tidak, dalam empat jilid “Kronik Revolusi Indonesia” itu, Pramoedya mencatat renik-renik peristiwa yang terjadi di Indonesia selama rentang waktu 1945-1949. Peristiwa-peristiwa yang dikumpulkan dan dicatat kembali oleh Pramoedya itu disusun secara kronikal: dari tanggal 1 sampai tanggal 31, dari Januari hingga Desember.
Kendati tak mampu meng-cover semua peristiwa dan kejadian-kejadian penting yang berlangsung di bawah langit-langit Indonesia sepanjang 1945-1949, empat jilid “Kronik Revolusi Indonesia” karya Pramoedya itu setidaknya bisa diacu, terutama oleh publik yang tidak punya akses langsung pada sumber-sumber primer, untuk memahami laju perjuangan memertahankan kedaulatan Indonesia yang sejak awal sudah dirongrong oleh ambisi Belanda menduduki kembali Indonesia.
Tim kerja “Kronik Kebangkitan Indonesia”, yang bekerja di bawah naungan Indonesia Buku (I:BOEKOE), mencoba melanjutkan ikhtiar yang sudah dirintis oleh Pramoedya. Itulah sebabnya secara sadar “Kronik Kebangkitan Indonesia” tak menggarap tahun 1945-1949 yang sudah diisi oleh “Kronik Revolusi Indonesia”-nya Pramoedya, betapa pun karya Pram itu masih banyak kosongnya.
Dalam “Kronik Kebangkitan Indonesia” ini, peristiwa-peristiwa yang berlangsung di Hindia Belanda dan Indonesia—dari Januari 1908 hingga Desember 2008—dikumpulkan dan disusun kembali secara kronikal. Jika dalam karya Pramoedya masih cukup banyak tanggal-tanggal kosong yang tak diisi, “Kronik Kebangkitan Indonesia” mencoba tidak mengosongkan satu pun tanggal dan hari.
Karya sejenis ini bukannya tak ada. Umumnya, karya-karya yang mencoba mengumpulkan dan mencatat kembali peristiwa-peristiwa masa lalu yang lantas disusun secara kronologis itu hanya berisi peristiwa-peristiwa yang berlangsung dalam satu segi kehidupan saja. Selain “Kronik Revolusi Indonesia” yang lebih fokus pada peristiwa-peristiwa politik yang berkaitan dengan upaya mempertahankan kedaulatan Republik (itulah sebabnya dijuduli “Kronik Revolusi Indonesia”), beberapa yang bisa disebut lainnya di antaranya adalah “Almanak Kepolisian” hingga “Almanak Kepartaian”.
Berbeda dengan itu semua, “Kronik Kebangkitan Indonesia” mencoba memasukkan nyaris semua bidang kehidupan, dari ekonomi, politik, seni, budaya, hingga olahraga. Dalam kronik ini, pembaca tak hanya akan menjumpai peristiwa-peristiwa penting yang sudah menjadi pengetahuan publik (seperti Sumpah Pemuda atau penangkapan dan pemenjaraan Soekarno pada 1929). Kronik ini juga mencatat banyak sekali peristiwa kecil dan sederhana, dari mulai kasus pembunuhan hingga peristiwa di balik proses persalinan seorang ibu yang begitu berbelit-belit di sebuah kampung yang diapit belantara. Dari pidato “Berdikari” Soekarno hingga pertandingan ujicoba PSSI dengan beberapa klub dari Eropa.
Kronik ini, oleh karena itu, bisa dipahami sebagai upaya intens untuk menghadirkan riwayat Indonesia sebagai sebuah kontinuasi yang tak pernah usai dari dimensi masa silam, masa kini, dan masa depan. Darisitu bisa terlihat bagaimana setiap peristiwa berhubungan satu sama lain, secara langsung atau tidak dan disadari atau tidak, dan lantas membentuk kolase peristiwa yang dari sana paras dan riwayat Indonesia bisa digambarkan, betapa pun kaburnya gambaran itu.
Inilah ikhtiar sederhana dari belasan anak muda berusia di bawah 25 tahun untuk mengabadikan peristiwa-peristiwa apa saja yang pernah dan sudah tergelar di bawah langit-langit Indonesia—sebuah ikhtiar melawan lupa dari sebuah negeri yang disebut-sebut mengidap penyakit akut amnesia.
Thursday, May 22, 2008
Peluncuran Kronik Kebangkitan Indonesia (1908-2008)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
:: Awal :: Kliping :: Esai :: Resensi :: Tips :: Tokoh :: Perpustakaan :: Penerbit :: Suplemen Khusus :: Buku Baru :: Undang-Undang ::
hehe, ntuh baru rekor!!
ReplyDeletesip! keren banget!
kalo mau beli dapet diskon ngga? hehehe
Salam,,
ReplyDeleteemang dah dijual di toko-toko?harganya piro??
Buku sdh terbit, semuanya berapa jilid-total harga berapa;,,bisa beli dimana ya……Muhammad Johansyah, Cibubur-Depok-Jawa Barat…Tkasih, Salam.
ReplyDelete