Tuesday, May 20, 2008

FLP dan Rumah Dunia, Berbagi Kiat Menulis

Masjid itu terletak di bagian belakang kompleks Taman Ismail Marzuki. Suasananya teduh, sejuk. Angin berembus dari pohon-pohon di sekitarnya. Pelatarannya luas. Di pelataran masjid Amir Hamzah itulah anggota Forum Lingkar Pena (FLP) DKI Jakarta kerap bertemu saban Minggu. "Acaranya biasanya diisi dengan diskusi," kata Billy Antoro, Ketua FLP Jakarta.

Diskusi, bedah buku, pelatihan, atau belajar menulis memang menjadi kegiatan rutin dan akrab dengan lembaga yang terbentuk pada 22 Februari 1997 ini. Adalah Helvy Tiana Rosa yang pertama kali menggemakan perlunya forum ini. Ketika itu, Helvy masih kuliah di Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Bersama Asma Nadia, Muthmainnah, dan beberapa teman lainnya, Helvy kerap berdiskusi tentang minat membaca dan menulis di kalangan remaja. Ide membentuk forum bergulir dan Helvy terpilih sebagai ketua umumnya yang pertama. Beranggotakan 30 orang, program utama mereka merangkai pelatihan menulis rutin dengan mengundang pakar.

Kemudian organisasi yang dikenal berhasil mempopulerkan sastra Islam ini berkembang cepat. Pada 2002, anggotanya sudah mencapai 5.000 orang. "Saat ini menjadi 7.000," ujar Ketua Umum FLP Pusat Irfan Hidayatullah. Mereka tersebar di berbagai pelosok Tanah Air hingga ke negeri seberang, seperti Singapura, Hong Kong, Jepang, Malaysia, Sudan, Belanda, Amerika Serikat, Mesir, dan Inggris.

Mereka terdiri atas berbagai profesi, seperti pelajar, mahasiswa, pegawai negeri, karyawan swasta, buruh, ibu rumah tangga, guru, petani, bahkan pembantu rumah tangga. Namun, sekitar 70 persen anggota adalah perempuan. "Jumlah anggota yang aktif menulis sekitar 700 orang," ujar Helvy, yang kini menjadi Ketua Majelis Penulis FLP. Mereka ini pula yang membina anggota lainnya agar menjadi penulis.

Tak hanya mendorong anggotanya menulis, organisasi ini juga menyediakan jalan bagi mereka untuk menerbitkan buku. Bekerja sama dengan berbagai penerbit, sudah lebih 600 judul buku fiksi ataupun nonfiksi karya anggota FLP diterbitkan. Belakangan, FLP juga punya penerbit, Lingkar Pena Publishing House, yang sebagian sahamnya dimiliki penerbit Mizan.

Maka, tak heran, khusus untuk jenis buku fiksi Islami, di toko-toko buku banyak dipenuhi karya anak-anak FLP. Sebagian buku mereka menjadi best seller, salah satu yang paling fenomenal adalah karya Habiburrahman El-Shirazy (Ayat-Ayat Cinta). Karena keberhasilan FLP mempopulerkan genre sastra itu, para penulis di luar FLP pun ikut meramaikan maraknya fiksi islami ini.

Di luar kegiatan menulis, mereka juga menggiatkan kegiatan membaca dengan menyediakan buku-buku bacaan untuk anak-anak sekitar lewat Rumah Cahaya (Rumah Baca dan Hasilkan Karya), yang jumlahnya belasan di seluruh Indonesia. Selain membaca, di sini ada ragam kegiatan, seperti belajar menulis dan mendongeng.

Semua kegiatan FLP bergulir dengan semangat para anggota. Mereka membiayai kegiatan sendiri. Tiap bulan mereka menyisihkan Rp 2.000-25 ribu sebagai iuran rutin. Angka itu bergantung pada kebutuhan daerah masing-masing.

Sementara itu, untuk kegiatan-kegiatan khusus, FLP banyak mendapat donasi dari berbagai pihak, baik pribadi maupun institusi. Cara lain anggota menyokong organisasi, kata Irfan, dengan menyumbangkan honor tulisan di media massa. Juga menjadi panitia pada acara-acara lomba menulis yang digelar berbagai institusi.

Tentu, FLP tak sendirian menyebarkan virus membaca dan menulis. Sejumlah komunitas lain juga muncul di berbagai tempat meski belum sebesar FLP. Sebut saja Pustakaloka Rumah Dunia yang dikelola Gola Gong dan kawan-kawan. Tiap pekan, mereka punya kelas menulis rutin yang diikuti oleh pelajar dan mahasiswa.

Selain itu, organisasi yang digerakkan Gola Gong dan kawan-kawan ini menyediakan bacaan buat anak-anak sekitar serta berbagai kegiatan belajar, seperti belajar membaca, menggambar, mendongeng, menulis, dan berteater.

Berdiri di atas tanah seluas sekitar 1.000 meter persegi di Kampung Ciloang, Serang, Provinsi Banten, komunitas ini lahir dari keprihatinan Gola Gong melihat kurangnya minat baca masyarakat Banten plus minimnya sarana dan prasarana perpustakaan. Gola Gong pun bermimpi punya perpustakaan pribadi yang diperuntukkan bagi masyarakat umum, khususnya anak-anak dan remaja di lingkungan rumahnya.

"Kami berpikir, rasanya untuk mengubah Banten sangat tidak mungkin," kata Aji Setiakarya, Sekretaris Rumah Dunia. Lalu mereka bersiasat dengan memulainya dari Rumah Dunia dan menularkannya ke lingkungan mereka tinggal. Nama Rumah Dunia pun kemudian "mendunia" sebagai salah satu komunitas sastra, tidak sekadar tempat belajar dan membaca bagi anak-anak sekitar.

* Digunting dari Harian Koran Tempo Edisi 21 Mei 2008


No comments:

Post a Comment