Sunday, February 17, 2008

Pembelian Hak Cipta Buku tak Selesaikan Soal

Pembelian hak cipta naskah buku pelajaran yang dilaksanakan oleh pemerintah, dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional, tidak menyelesaikan masalah.

Hal itu dikemukakan Ade Irawan, Koordinator Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch, akhir pekan lalu. Dia mengatakan, niat pemerintah membeli hak cipta naskah buku pelajaran sebetulnya baik, namun bukan berarti sudah menyelesaikan permasalahan beban biaya buku pelajaran yang dirasakan masyarakat.

Beratnya beban biaya buku pelajaran masih rawan terjadi. Selama ini, untuk satu mata pelajaran, seorang siswa terpaksa membeli tiga buku pelajaran— buku pokok, penunjang, dan Lembar Kerja Siswa (LKS). Padahal, ada belasan mata pelajaran di sekolah dasar dan menengah.

Umumnya, buku yang sudah dibeli tidak dapat digunakan lagi. LKS, misalnya, hanya dapat satu kali digunakan lantaran harus diisi dan dinilai guru atau guru mengganti jenis buku. Para murid dapat saja masih harus membeli buku-buku lainnya.

”Selain itu, belum tentu guru mempunyai komitmen sama dengan menggunakan naskah buku yang telah dibeli hak ciptanya. Di sisi lain, pemaksaan untuk menggunakan buku itu secara seragam juga berarti merenggut otonomi guru,” katanya.

Di samping itu, belum semua daerah mempunyai akses internet. Padahal, naskah buku pelajaran itu rencananya berupa data digital. Di daerah yang demikian, guru dan siswa akan kesulitan mengakses buku itu.

Ade mengatakan, buku pelajaran menjadi salah satu pengeluaran pendidikan yang cukup besar, terutama di tingkat dasar. Dia berpandangan, pemerintah tidak dapat lepas tangan dalam penyediaan buku pelajaran.

Hal senada diungkapkan Ketua Umum Federasi Guru Independen Indonesia (FGGI) Suparman. Dia menyambut baik rencana itu, namun rencana itu harus dilaksanakan secara konsisten. ”Jika tidak konsisten dan berkelanjutan, bisa jadi naskah buku yang tersedia itu tidak sesuai lagi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,” ujarnya.

Serupa dengan Ade, Suparman juga menyoroti kendala dari segi teknologi. ”Belum tentu semua lapisan masyarakat merasakan manfaatnya karena banyak orang tidak mampu dan kurang mengenal teknologi informasi. Mereka akan kesulitan mengakses. Kalaupun kemudian digandakan guru, sekolah, atau penerbit, belum tentu gratis lantaran ada ganti ongkos cetak,” ujarnya.

Dengan adanya program ini, dia berharap pemerintah ikut mendorong dan memfasilitasi agar guru dapat menulis buku pelajaran berkualitas.

* Digunting dari Harian Kompas Edisi 19 Februari 2008

No comments:

Post a Comment