Majelis hakim Pengadilan Negeri Depok pada Rabu (20 Februari 2008) menjatuhkan vonis bersalah kepada penulis opini Bersihar Lubis. Hakim menghukum jurnalis senior itu satu bulan dengan masa percobaan tiga bulan tanpa harus menjalani penahanan.
"Jika vonis tidak memuaskan, terdakwa atau jaksa bisa mengajukan banding," ujar ketua majelis hakim Suwidya sebelum membacakan putusan.
Menurut hakim, Bersihar melanggar Pasal 207 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang penghinaan terhadap penguasa atau pejabat negara. Hakim menilai Bersihar telah menghina Kejaksaan Agung melalui tulisan opininya di Koran Tempo edisi 17 Maret 2007.
Dalam tulisannya, Bersihar mengkritik putusan Kejaksaan Agung melarang buku sejarah sekolah menengah yang tak mencantumkan kata "PKI" (Partai Komunis Indonesia) di belakang kata G-30-S (Gerakan 30 September).
Tak lama setelah tulisan dimuat, tiga jaksa dari Kejaksaan Negeri Depok mengadukan Bersihar. Dalam proses pengadilan, jaksa menuntut Bersihar hukuman penjara 8 bulan.
Sebelum sidang berlangsung kemarin, di halaman pengadilan berlangsung aksi mendukung Bersihar. Puluhan wartawan dari Aliansi Jurnalis Independen, Persatuan Wartawan Indonesia Reformasi, dan Kelompok Kerja Wartawan Depok meminta hakim membebaskan Bersihar tanpa syarat.
Hakim bergeming. "Opini bukan berita yang jadi tanggung jawab redaksi, tapi sepenuhnya tanggung jawab penulis," kata Suwidya. "Undang-Undang Pers yang sifatnya lex specialist tak bisa dipakai dalam kasus Bersihar."
Meski putusan hakim lebih ringan daripada tuntutan jaksa, tim kuasa hukum Bersihar mengajukan perlawanan. "Kami akan banding," kata Hendryana, pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum Pers yang mendampingi Bersihar. "Hakim hanya mempersoalkan judul, bukan substansi dan dampak tulisan," kata Afnan Malay, pengacara lainnya.
Vonis bersalah atas Bersihar menuai banyak kecaman. "Sangat mengecewakan," kata anggota Dewan Pers, Abdullah Alamudi, yang menghadiri sidang. Menurut dia, putusan hakim bisa berdampak pada terberangusnya kebebasan berpendapat yang dijamin konstitusi dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
Kecaman juga datang dari Ketua Aliansi Jurnalis Independen Heru Hendratmoko. "Ambigu," kata dia. Menurut Heru, vonis satu bulan tapi tak harus dijalani Bersihar hanya akal-akalan majelis hakim untuk mengakomodasi pasal karet dalam KUHP.
Dalam masyarakat demokratis, menurut Heru, orang boleh mengadu pendapatnya dengan pendapat lain. "Opini harus dibayar opini." Heru menambahkan, "Jaksa mestinya malu tak bisa meladeni opini secara beradab."
Pengamat hukum dari Universitas Indonesia, Rudi Satrio, juga mengkritik putusan hakim. "Subyek hukum yang dipakai salah." Menurut Rudi, tanggung jawab atas tulisan opini bukan pada diri Bersihar, melainkan pada pemimpin perusahaan media. "Itu amanat Undang-Undang Pers."
***
Editorial
Hukuman untuk Kolumnis
Sudah tepat langkah Bersihar Lubis mengajukan banding atas putusan Pengadilan Negeri Depok, Jawa Barat. Dihukum percobaan satu bulan, kolumnis yang pernah menjadi wartawan beberapa media ini memang tak perlu mendekam di penjara. Tapi putusan ini tetap merisaukan karena ia dinyatakan bersalah. Kolumnis, mereka yang menuliskan pikiran dan pendapatnya di media massa, menjadi rawan gugatan hanya karena menyampaikan hal-hal yang tidak disukai oleh institusi negara.
Bersihar digugat oleh Kejaksaan Agung karena tulisannya di koran ini pada 17 Maret 2007, yang rupanya membuat merah telinga Kejaksaan Agung. Dalam artikel berjudul "Kisah Interogator yang Dungu", ia sebenarnya hanya bermaksud mengkritik tindakan kejaksaan melarang peredaran buku teks pelajaran yang tidak menyebut kata Partai Komunis Indonesia (PKI) di belakang ungkapan G-30-S (Gerakan 30 September 1965). Kata "dungu" itu pun sebenarnya kutipan dari perkataan orang lain yang dipakai semata sebagai ilustrasi.
Sensitivitas kejaksaan luar biasa dalam kasus itu. Tapi sebenarnya juga ironis. Untuk kepentingannya sendiri, demi menegakkan wibawanya yang dianggap telah dihina, sebuah tindakan begitu lekas dijalankan. Padahal untuk kasus-kasus lain yang sebenarnya lebih mendesak, karena menyangkut kepentingan negara dan masyarakat banyak, begitu kerap kejaksaan melangkah bagai kura-kura.
Dalam konteks keterbukaan dan kebebasan berpendapat, kejaksaan sebenarnya sudah tak punya alasan yang masuk akal. Memang ada Pasal 207 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang menjamin penguasa atau badan umum untuk memperkarakan pihak-pihak yang dianggap menghina. Tapi pasal warisan Belanda yang dipakai menjerat Bersihar ini hanya pantas berlaku di masa kolonial. Zaman telah berubah. Kini tidak ada lagi institusi negara yang bisa mengelak dari kritik.
Penggunaan pasal itu juga terasa menggelikan bila diingat bahwa Mahkamah Konstitusi telah mencabut tiga pasal tentang penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Alasannya, aturan itu bertentangan dengan asas persamaan di depan hukum di dalam konstitusi. Presiden dan wakil presiden tak punya hak lebih istimewa dibanding warga negara lainnya. Jika sekarang Pasal 207 KUHP masih dipakai untuk melindungi "martabat" kejaksaan, muncul pertanyaan apakah instansi ini lebih tinggi derajatnya dibanding presiden?
Semakin jelas bahwa pasal penghinaan terhadap penguasa atau badan umum itu sudah tidak relevan lagi. Ini bertentangan dengan kebebasan menyampaikan keyakinan, pikiran, dan sikap yang dijamin oleh Pasal 28-E ayat 2 UUD 1945. Aturan itu juga bertabrakan dengan kebebasan mengeluarkan pendapat yang diatur dalam ayat 3 pasal yang sama di konstitusi
Itu sebabnya pengajuan banding yang ditempuh Bersihar perlu didukung. Begitu pula upaya mengajukan uji materi pasal yang digunakan oleh jaksa dalam menjerat Bersihar kepada Mahkamah Konstitusi. Langkah ini diperlukan untuk memastikan jaminan kebebasan bagi para penulis apakah akan memuji atau mengkritik institusi negara.
* Digunting dari Harian Koran Tempo Edisi 21 Februari 2008
Thursday, February 21, 2008
Bersihar Lubis Dihukum Satu Bulan Penjara
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
:: Awal :: Kliping :: Esai :: Resensi :: Tips :: Tokoh :: Perpustakaan :: Penerbit :: Suplemen Khusus :: Buku Baru :: Undang-Undang ::
Demi masa depan bangsa dan negara sebaiknya ada pelurusan sejarah. Yang berbicara ya dihargai, yang ndak suka ya tahan diri belajar menghargai pendapat.
ReplyDelete