Friday, November 30, 2007

Keadilan Pengadilan Jaksa Dungu

Sungguh sial nasib Bersihar Lubis. Saat-saat ini mantan wartawan Tempo itu harus tampil sebagai pesakitan di pengadilan hanya karena ia mengutip kisah orang lain yang dikisahkannya kembali di dalam sebuah kolom. Ia digelandang ke pengadilan dengan dakwaan melakukan penghinaan dan pencemaran nama baik. Penggiringan kasus ini ke pengadilan tak hanya tidak logis karena terkesan dipaksakan, tapi juga terasa menabrak rasa keadilan.

Alkisah, pada April 2004 pemimpin penerbit buku Hasta Mitra, Joesoef Isak, menerima penghargaan Jeri Laber Pour La Liberte De l'Edition dari Perhimpunan Penerbit Amerika karena berani menerbitkan karya Pramoedya Ananta Tour ketika pemerintah Indonesia keras melarangnya. Saat memberi sambutan pada upacara penerimaan anugerah itu, Joesoef berkisah tentang interogator alias jaksa dungu yang pernah menyita bukunya. Kata Joesoef pada 1981 itu, dia diperiksa oleh kejaksaan karena menerbitkan dua novel Pramoedya, Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa.

Lucunya, ketika dia diminta menandatangani berita acara pemeriksaan, seorang jaksa malah meminta Joesoef mengiriminya buku karya Pramoedya yang kata sang jaksa dikaguminya. Sang jaksa itu pun mengatakan perlakuannya terhadap Joesoef hanya karena perintah atasan. Dalam konteks itu, Joesoef mengatakan jaksa tersebut sebagai interogator dungu.

Kisah itu dikisahkan kembali oleh Bersihar Lubis melalui kolomnya di Koran Tempo edisi 17 Maret 2007 dengan judul "Kisah Interogator yang Dungu". Dia mengaitkan kisah "interogator dungu" itu dengan dalang G30S 1965 yang menurut dia masih dapat diperdebatkan. Karena itu, kini dia digiring ke peradilan pidana dengan dakwaan "pasal karet" penghinaan dan pencemaran nama baik (Tempo, 26 November 2007).

Mengurus remeh-temeh

Ini sungguh aneh dan tak logis. Sebab, kalau cara berpikir seperti itu dipakai, kita juga harus menghukum orang yang mengisahkan apa yang didengarnya kalau kisah itu bermuatan pidana. Misalnya, kita harus menghukum semua orang dan wartawan yang mengatakan atau menulis omongan Zaenal Ma'arif bahwa Susilo Bambang Yudhoyono pernah kawin sebelum lulus Akabri--kalau nanti terbukti Zaenal Ma'arif bersalah. Kita juga harus menghukum semua orang yang mengutip Fajroel Rahman bahwa Pak Harto adalah penjahat kemanusiaan dan koruptor besar.

Memang, penggelandangan Bersihar ke pengadilan tak hanya karena mengisahkan kisah yang telah terjadi pada 1981 itu, tapi juga karena elaborasinya sendiri yang kemudian dianggap menghina dan mencemarkan nama baik institusi kejaksaan yang didungukan.

Tapi itulah yang dirasakan tidak adil karena memberi kesan kuat kejaksaan hanya mencari-cari pekerjaan yang "remeh-temeh". Bayangkan, banyak kasus besar yang membangkrutkan negara dan menggarong harta rakyat yang dilaporkan dan ditangani kejaksaan, tapi tak dapat diselesaikan dengan baik. Malah banyak di antaranya yang diberi SP3 dan SKP3. Gila, kan? Kasus-kasus korupsi besar yang jelas-jelas memotong nadi negara dan menyedot darah rakyat tak diseriusi, sementara kasus teri seperti "pengisahan kisah" oleh Bersihar cepat-cepat dibawa ke pengadilan dengan serius. Keadilan macam apa yang diikuti oleh kejaksaan?

Kalaulah diperdebatkan dari bunyi pasal-pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang masih resmi berlaku, memang bisa saja Bersihar secara formal dianggap bersalah karena tindakannya memenuhi unsur pidana yang didakwakan. Tapi harus diingat bahwa pasal-pasal yang serumpun dengan yang didakwakan terhadap Bersihar itu, sebagai produk kolonial, telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) atas permintaan judicial review oleh Egi Sudjana. Memang, yang secara langsung dibatalkan oleh MK adalah pasal penghinaan terhadap kepala negara sebagai penguasa yang sah, tapi rumpun dan substansinya adalah sama dengan pasal-pasal yang sekarang didakwakan terhadap Bersihar. Substansinya melindungi penguasa penjajahan yang zalim, rumpunnya adalah "pasal karet".

Bukan lagi rechtsstaat

Di dalam tata hukum kita yang baru, sejak amendemen atas Undang-Undang Dasar 1945, secara tegas kita tidak hanya menganut kebenaran-kebenaran formal atas nama kepastian hukum, tapi juga menganut prinsip penegakan keadilan dalam penegakan hukum. Itulah sebabnya kata rechtsstaat (dengan arti negara hukum) yang dulu tercantum dalam Penjelasan Umum UUD 1945 sekarang sudah dihapus dan substansinya dipindahkan ke Pasal 1 ayat (3) UUD hasil amendemen tanpa lagi menggunakan istilah rechtsstaat yang diletakkan di dalam kurung.

Penghapusan istilah rechtsstaat dengan hanya menggunakan istilah "negara hukum" saja bukanlah sekadar masalah semantik, tapi juga memuat hal yang sangat substantif. Sekarang ini negara hukum Indonesia bukan hanya rechtsstaat yang lebih menekankan pada kebenaran formal melalui pencocokan pasal-pasal undang-undang dengan perbuatan seseorang atas nama "kepastian hukum", tapi juga negara hukum the rule of law yang menekankan pada pentingnya "penegakan keadilan".

Tegasnya, negara hukum kita adalah prismatika antara rechtsstaat dan the rule of law, yang berarti "kepastian hukum" hanya harus dibangun jika ia dapat memastikan tegaknya "keadilan". Filosofi yang seperti ini ditegaskan kembali di dalam Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 28-D ayat (1) UUD 1945 hasil amendemen.

Kasus penggiringan Bersihar ke pengadilan terasa tidak memenuhi rasa keadilan, baik dilihat dari substansi masalahnya yang "remeh-temeh" maupun dipandang dari sudut pilihan jaksa untuk serius menangani kasus ini tapi tampak enteng mengesampingkan kasus-kasus lain yang memang serius. Kejaksaan terlihat memainkan jurus kebenaran formal dan kepastian hukum dalam rechtsstaat dengan mengesampingkan penegakan keadilan sebagaimana dituntut oleh the rule of law.

Peradilan di negeri kita akan menjadi "peradilan dungu" jika para penegak hukumnya tak paham atau tak mau paham pada prismatika antara rechtsstaat dan the rule law sebagai bagian penting dari sistem hukum Pancasila. Undang-undang dasar kita sekarang ini menuntut dunia peradilan untuk membangun kepastian hukum dan keadilan secara bersamaan, dalam arti kepastian hukum harus ditegakkan untuk memastikan bahwa rasa keadilan terpenuhi.

* Moh. Mahfud Md., Guru Besar Hukum Tata Negara dan Anggota Komisi III DPR RI
** Digunting dari Harian Koran Tempo Edisi Sabtu 01 Desember 2007

1 comment: