Tuesday, December 18, 2007

Terbit, 'Ali Imron Sang Pengebom'

Ali Imron, 37, terpidana seumur hidup kasus bom Bali I, menerbitkan buku. Memoar berjudul Ali Imron sang Pengebom itu diluncurkan di tengah persiapan tahap akhir eksekusi mati trio pelaku bom Bali lainnya, yakni Imam Samudra, Mukhlas, dan Amrozi.

Posisi pria yang akrab dipanggil Ale itu memang unik. Berbeda dengan ketiga temannya yang kukuh dengan kebenarannya, Ale kembali menegaskan bahwa berjihad dengan mengebom adalah pilihan keliru.

Ale siap jika bukunya memicu kontroversi. "Ini salah satu bentuk pertanggungjawaban saya sebagai pelaku pengeboman," kata Ale saat ditanya Jawa Pos tentang alasannya mengeluarkan buku tersebut.

Menurut Ale, naskah bukunya mulai ditulis sejak masih ditahan di Mapolda Bali awal 2003. Buku yang digarap penerbit Republika itu turun cetak pada Minggu (16/12) dan kini dalam tahap distribusi ke toko buku. Sebelum Ale, Imam Samudra telah menerbitkan buku Aku Melawan Teroris pada 2004.

Buku Ale setebal 275 halaman yang dilengkapi file foto milik Mabes Polri dijadikan media dakwah Ale. Dia mengajak kawan-kawannya yang lain untuk tidak melakukan jihad dengan cara seperti bom Bali. Sejak di halaman pembuka, pria asal Tenggulun, Lamongan, Jatim, itu berpesan kepada yang ingin berjihad supaya tidak salah memilih jalur.

Baginya, jihad di jalan Allah bukan hanya untuk membunuh, tapi harus ada syarat terpenting yang harus dipenuhi. Yaitu, menghilangkan kemusyrikan. "Apa bom Bali I, bom JW Marriott, bom Kuningan, dan bom Bali II berhasil menghilangkan kemusyrikan?" katanya.

Bom-bom tersebut, menurut Ale, lebih banyak membawa mudarat (keburukan) dan mafsadat (kerusakan) dibanding manfaat dan maslahat (kebaikan).

Kesalahan bom Bali, kata dia, adalah melanggar adab jihad, belum ada kejelasan tentang status orang yang diserang, serta didorong faktor emosional (hal 238-250).

Jika ada yang tidak puas dengan Israel, Amerika, Inggris, dan Australia, lanjut dia, sampaikan dakwah dan peringatan. Jika buntu, yang dilawan adalah tentara yang memerangi Islam. Bukan menyamaratakan semua orang.

Dalam buku itu Ale menceritakan riwayat hidupnya dari anak desa menjadi militan (Bab I), mempraktikkan jihad (Bab II), bom Bali 12 Oktober 2002 (Bab III), mengapa dirinya kooperatif (Bab IV), dan jihad vs terorisme (Bab V). Salah satu bagian yang menceritakan detail bagan susunan bom Bali I dan campurannya sengaja diedit.

"Kita tidak ingin nanti dikira mengajari orang merakit bom," kata Tommy Tamtomo, direksi penerbit Republika.

Kendati tidak bisa menceritakan detail perakitan bom Bali I, Ale menceritakan proses di balik bom tersebut. Mulai perancangan, persiapan, menuju hari H, hari H, pelaku bom bunuh diri, peran dirinya dalam bom Bali, menghilangkan jejak, hingga proses penangkapan. Ale tidak menyinggung keterangan Utomo Pamungkas alias Mubarok yang mengaku bertemu Ustad Abu Bakar Ba’asyir sebelum peledakan.

Keterangan Mubarok itu memang menjadi kontroversi hingga kini karena dijadikan bahan untuk menjerat Ba’asyir setelah dinyatakan terbukti bermufakat jahat dengan pelaku bom Bali. Mubarok dalam BAP polisi mengisahkan bahwa dirinya, Amrozi, serta Ale menemui Ba’asyir di rumahnya, kompleks Pesantren Al Mukmin Ngruki, pada Mei-Agustus 2002.

Lalu mengapa kooperatif dan membantu polisi? Ale menjawab, "Karena saya terlibat dalam pengeboman dan itu tidak benar." Baginya polisi hanya menjalankan tugas. Adik kandung Mukhlas dan Amrozi itu mengakui, polisi juga tak berbeda dengan dirinya yang menjalankan jihad sebagai kewajiban dari Allah. Dia sendiri menyatakan penyesalan dan permohonan maaf kepada para keluarga korban bom Bali I.

"Saya menyesal terlambat menunjukkan jihad yang benar," tambah Ale yang menolak dilabeli mujahid dan kini menunggu grasi dari presiden itu.

* Digunting dari Harian Jawa Pos Edisi 18 Desember 2007


No comments:

Post a Comment