Friday, November 9, 2007

Diluncurkan, Buku 'Amandemen UUD 1945'

Ketertutupan sistem ketatanegaraan Indonesia membuat terjadinya praktik monopoli partai politik, baik di eksekutif, legislatif, maupun komisi-komisi negara, seperti Mahkamah Konstitusi. Monopoli partai politik ini harus diakhiri dengan cara membuka pintu masuk bagi calon-calon nonparpol, seperti calon presiden independen.

Hal itu diungkapkan pakar hukum tata negara Denny Indrayana dalam peluncuran bukunya, Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran, di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (8/11). Pembicara lain dalam diskusi peluncuran buku tersebut adalah pakar hukum tata negara Universitas Andalas Saldi Isra, Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan, dan Direktur Eksekutif Indo Barometer Mohammad Qodari.

Hadir dalam acara itu sejumlah tokoh. Selain para hakim konstitusi, juga hadir Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, beberapa anggota DPR seperti Lukman Hakim Saifuddin dan Nursyahbani Katjasungkana, anggota Komisi Yudisial Tahir Saimima, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Andi Samsan Nganro, dan beberapa pakar hukum seperti Maria Farida dan Komariah Emong Sapardjaja.

Di dalam bukunya, Denny Indrayana menyebutkan, calon-calon independen harus diberi kesempatan untuk mencalonkan diri sebagai presiden. Monopoli oleh partai-partai politik atas pengajuan seorang calon presiden harus diakhiri demi memperkuat demokrasi partisipatif.

"Monopoli partai politik ini tidak hanya terjadi di eksekutif ataupun legislatif, tetapi komisi-komisi independen pun harus mengafirmasi calon-calon dari partai politik," tutur Denny.

Denny juga menyoroti pemilu yang berbiaya mahal, tetapi tidak berhasil mendapatkan kepemimpinan yang efektif. Untuk itu, ia mengajak para pakar untuk mencari sistem pemilu yang lebih baik sehingga bisa menghasilkan kepemimpinan yang efektif dan biaya pemilu tidak mahal.

Hal lain yang juga menjadi sorotan Denny dalam bukunya adalah posisi MPR yang saat ini masih menggantung serta perlunya penguatan DPD.

Saldi Isra dalam diskusi mengatakan, harus ditegaskan apakah posisi MPR sebagai sebuah institusi ataukah hanya menjadi forum DPR dan DPD. "Kalau dibiarkan menggantung seperti sekarang, akan membuat demokrasi berada di persimpangan jalan," katanya.

Dalam buku itu juga disebutkan, di sepanjang proses amandemen UUD 1945, ide untuk membentuk sebuah parlemen bikameral yang kuat bergema luas. Namun, parlemen bikameral yang kuat ini tidak tercapai karena bagi para penentangnya, itu berarti Indonesia akan secara efektif menjadi sebuah negara federal, sebuah opsi yang ditentang kuat karena alasan-alasan ideologis.

* Digunting dari Harian Kompas, 9 November 2007



No comments:

Post a Comment