Monday, September 3, 2007

Daun-Daun Muda Penulis Jogja

Lelaki berwajah tampan itu tampak serius membuka lembaran demi lembaran sebuah surat kabar nasional yang distribusinya sampai ke Yogyakarta. Sejurus kemudian dia berteriak kegirangan sambil mengepalkan lengannya ke atas. “Yes,” katanya. Tanpa basa-basi, koran itu langsung dibeli lalu bergegas pulang. Itulah pengalaman pertama Hurry, mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, saat pertama kali tulisannya dimuat di media massa.

Bagi si penulis, rasa bangga, senang dan girang sudah pasti ketika tulisannya dimuat. Sebaliknya kesal dan frustrasi berkecamuk ketika tulisannya tidak dimuat. Apa yang dialami oleh Hurry di atas adalah bagian dari ekspresi kebahagiaan itu.

Di Yogyakarta, menulis seakan menjadi bagian dari aktivitas mahasiswa di luar kampus. Umumnya mahasiswa di Yogyakara, selain aktif beroraganisasi, dan berdiskusi juga rajin menulis di media massa. Tak heran jika setiap hari minggu tulisan-tulisan atas nama mahasiswa Yogyakarta hampir menghiasi setiap media massa, baik lokal maupun nasional.

Bagi Anda yang selalu membaca koran pasti sudah akrab dengan nama-nama seperti, Tasyriq Hifzillah, Muhammadun AS, Lukman Santoso Az, Zen Rahkmat Sugito, Gugun El-Guyani, M. Yunus. BS., Saiful Bari, meskipun Anda sendiri tidak pernah bertemu secara langsung dengan mereka.

Mereka itu yang tulisan-tulisannya selalu muncul di hampir setiap media massa, baik di rubrik resensi buku, sastra, opini. Nama-nama itu adalah bagian kecil dari sekian banyaknya penulis muda di Yogyakarta. Kalau dihitung secara keseluruhan jumlahnya mencapai puluhan bahkan bisa melebihi angka seratus.

Belum lagi para penulis muda yang serius membuat buku utuh, seperti Muhidin M. Dahlan penulis Tuhan Izinkan Aku Menjadi Seorang Pelacur, yang cukup kontroversial, Mohammad Al-Fayyadh penulis buku Derida, yang sukup memukau, Reny Nuryanti penulis buku Perempuan Dalam Hidup Sukarno, Herlinatien penulis buku Garis Tepi Seorang Lesbian. Mereka itu, saat menulis masih berstatus mahasiswa.

Umumnya para penulis yang disebut di atas bukanlah mereka yang punya keahlian khusus dalam bidang menulis. Mereka mengaku mengenal dunia menulis ketika berdomisili di Yogyakarta.

“Saya pertama kali menulis itu ketika kuliah di Yogyakarta,” kata Muhidin M. Dahlan. Hal yang sama diungkapkan Muhammadun AS, “Kalau pertama kali menulis sejak di pesantren Jombang, tetapi mulai belajar menulis serius ketika kuliah di Yogyakarta.”
Kondisi Yogyakarta yang tenang, kota seniman, dan sekaligus kota pelajar memang memberikan inspirasi bagi banyak orang untuk menulis. Apalagi di Yogyakarta banyak penerbit buku sehingga akses buku selalu up to date. Buku apa saja bisa kita dapatkan ketika berdomisili di Yogyakarta. “Kondisi itu, memungkinkan setiap orang untuk berkarya,” kata Muhidin.

Selain itu, di Yogya itu sarana pendukung untuk menulis memang lebih memungkinkan daripada daerah-daerah lain. Kemudian kelompok-kelompok diskusi yang mengarah pada dunia tulis menulis juga banyak. Ada juga kelompok-kelompok yang memang mengkader secara khusus orang-orang untuk menulis dan menjadi penulis. “Ini yang membuat tradisi menulis di Yogya terus bertahan hingga saat ini,” ujar Muhammadun AS, membenarkan pendapat Muhidin.

Banyaknya media massa dan penerbit yang ada di Yogyakarta ditenggarai ikut berperan bagi munculnya penulis-penulis mudah.

“Sebelum reformasi akses buku itu sangat kurang dan sedikit sekali. Pasca 1998 itu penerbit di Yogyakarta banyak sekali. Kebangkitan dunia penerbit itu mempengaruhi dunia tulis-menulis,” kata Eko Prasetyo.

Media memang ikut berperan penting dalam menumbuhkan semangat menulis. Adanya rubrik Forum Mahasiswa di Bernas, Prokon Aktivis di Jawa Pos, Forum Akademia di Kompas Jogja, Suara Mahasiswa di SKH Kedaulatan Rakyat, Debat Mahasiswa di Suara Merdeka, Opini Mahasiswa di Solopos, menjadi daya tarik sendiri bagi mahasiswa untuk menulis.
Bagi mahasiswa yang baru belajar, rubrik-rubrik itu biasanya dijadikan ajang latihan untuk menulis. “Pertama kali tulisan saya dimuat di Jawa Pos di Prokon Aktivis itu,“ kata Richo WS bangga. Kini tulisan-tulisan Richo yang masih tercatat sebagai mahasiswa Jurusan Perbandingan Agama UIN Sunan Kalijaga, tidak saja di Prokon Aktivis, tetapi juga di hampir semua media massa, lokal dan nasional.

Agus Hilman yang juga mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, mengaku pertama kali belajar menulis melalui kelompok-kelompok diskusi. “Saat itu saya dan teman saya membuat kelompok diskusi. Setiap diskusi harus membuat makalah sesuai dengan tema yang disepakati. Tanpa disadari kebiasaan menulis makalah itu membuat saya terbiasa menulis,” akunya.

Hilman menuturkan jika pengalaman menulis pertama kali ke Media Indonesia di rubrik Opini. Tulisan itu, lanjut Sekteratis Umum HMI Cabang Yogyakarta, mulanya iseng saja hanya untuk menanggapi tulisan teman saya yang di muat di Media Indonesia. “Ternyata tanpa diduga juga dimuat,” ungkapnya. Sejak itulah, lelaki kelahiran NTB, 3 Agustus 1983 ini, terus meningkatkan kemampuannya dalam menulis.

“Bangga pasti, tetapi lebih bangga ketika dimuat di Prokon Aktivis Jawa Pos, karena tulisan yang dimuat itu sudah kesekian kalinya ngirim,” paparnya, saat ditanya perasaannya ketika tulisannya dimuat. Hilman, yang pernah menjadi juara nasional Pekan Ilmiah Mahasiswa (PIM) PTIN/PTAIS se-Indonesia di Bandung 2006 ini, mengaku bersyukur kuliah di Yogyakarta karena bisa tahu dunia tulis-menulis.

Kini media, bagi mahasiswa Yogyakarta, tidak hanya dijadikan bahan bacaan untuk mengakses berbagai informasi yang tersaji di dalamnya, tetapi telah menjadi ajang dan pertarungan untuk merebut pengaruh. Setiap minggu bahkan setiap hari semua mahasiswa di Yogyakarta berlomba mengirim ke media, baik dalam bentuk tulisan opini, sastra, maupun resensi buku.

“Hampir setiap minggunya saya menulis satu sampai tiga tulisan. Itu pun belum tentu ketiga-tiganya dimuat,” kata salah satu penulis muda Yogyakarta yang konsen pada resensi, Abd. Rahman Mawazi. Apa yang diungkapkan Maman, begitu ia disapa, sangat beralasan. Sebab, ketika satu minggu saja tidak menulis, dia akan ditinggal oleh penulis-penulis lain, terutama penulis-penulis yang sudah punya nama dan kenal baik dengan redaktur media.

Kalau satu orang saja per minggunya mengirim tiga tulisan berapa banyak tulisan yang masuk ke meja redaksi. Sampai-sampai Arief, redaktur Opini dan Budaya Jawa Pos, dalam sebuah diskusi di Kaliurang beberapa waktu lalu, mengaku menerima puluhan tulisan atas nama mahasiswa Yogyakarta. Itu yang di Jawa Pos, belum lagi di media-media lain.
Kuatnya tradisi menulis itu tanpa disadari telah terjadi persaingan antarpenulis. Misalnya, jika hari ini si A dimuat di media, maka besok atau lusa si B juga harus dimuat. Sebaliknya, jika si Y minggu ini dimuat di media, maka si Z harus dimuat minggu depannya, dan seterusnya. Dengan model persaingan seperti ini, mau tidak mau seseorang yang tulisannya ingin dimuat di media terpaksa harus terus menulis.

Bagi mereka yang tidak mau berkarya dengan sendirinya akan terlempar dari persaingan. “Saya sendiri sudah puluhan tulisan yang tidak dimuat di media, tetapi saya terus menulis sampai akhirnya dimuat juga,” kata Saiful Bari, menjelaskan pengalaman menulisnya. “Karena terbiasa menulis, tulisan-tulisan saya yang dikirim ke media kini jarang yang ditolak,” katanya.

Saiful Bari menuturkan, “Sebetulnya banyak teman-teman saya yang berkeinginan menjadi penulis, tetapi baru tiga kali saja tidak dimuat sudah menyerah. Kalau gampang menyerah seperti itu, sampai kapan pun tidak akan bisa menjadi penulis hebat,” kritiknya.

Saiful lalu mencontohkan, hampir semua penulis-penulis besar di Indonesia tidak secara serta-merta settle dengan sendirinya, mereka selalu berproses dari awal. Karena itu, imbaunya, teruslah menulis dan jangan pernah menyerah. Sebab, ketika memutuskan untuk tidak menulis itu sama artinya dengan tamat.

Memang bagi yang terbiasa, menulis bagaikan mengepulkan asap rokok. Sebaliknya, bagi yang tidak terbiasa, menulis bagaikan mengkanvaskan cat pada angin, mudah tapi sulit untuk dilakukan. Selain karena faktor eksternal seperti situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan untuk menulis, faktor yang lain adalah minimnya bacaan.

“Menulis memang dianggap sulit dilakukan, namun apabila dibiasakan kesulitan itu akan teratasi,” kata Hurry. Karena itu Hurry, yang tulisannya tersebar di beberapa media massa ini menyarankan bagi yang ingin menulis supaya memperdalam cakrawala keilmuan dengan memperbanyak membaca buku dan membaca tulisan-tulisan orang lain. “Kalau tidak akan sulit menghasilkan tulisan yang bermutu,” begitu ia menyarankan.


Akarnya Sudah Terbentuk Sejak Lama

Dibandingkan daerah-daerah lain, dunia kepenulisan di Yogyakarta relatif lebih dinamis dan berkembang. Setiap hari minggu rubrikasi seperti opini, sastra budaya, resensi buku, di hampir semua media massa, baik lokal maupun nasional, selalu diisi oleh penulis-penulis asal Yogyakarta.

Yang menarik, para penulis yang muncul di media masa itu bukanlah mereka yang punya gelar doktor atau profesor, tetapi mereka yang masih berstatus mahasiswa. Bahkan, ,mereka tidak hanya menulis di media massa, tetapi juga ada yang sudah menulis buku. Pantas saja jika Yogyakarta disebut sebagai kota pendidikan.

Sejak kapan aktivitas tulis menulis ini mentradisi? Belum ada data yang pasti tentang hal ini. Menurut M. Nursam, akarnya sudah ada sejak lama di zaman pra kemerdekaan.
“Kalau kita persempit dalam periode pergerakan, akarnya bisa dilihat pada Tamansiswa dan Muhammadiyah. Dua ormas ini memberi kontribusi penting dalam membangun akar intelektual di Yogyakarta,” ungkapnya.

Nursam, yang sewaktu mahasiswa hingga kini aktif menulis diberbagai media ini, punya pandangan menarik mengapa Yogyakarta menjadi pusat intelektual di Indonesia. Selain karena secara historis Yogyakarta pernah menjadi kota revolusi dan sekaligus ibu kota negara, universitas negeri pertama di Indonesia juga ada di Yogyakarta, yakni UGM.
“Pada saat bersamaan anak bangsa terbaik di berbagai daerah berdatangan ke Yogyakarta. Mulai saat itulah terbentuk komunitas anak-anak muda Indonesia yang berdomisili di Yogyakarta. Mereka kemudian membentuk komunitas-komunitas diskusi. Dari sinilah akar kultural dunia kepenulisan di Yogyakarta ini mulai mengakar,” paparnya.

Secara nasional barisan intelektual di Indonesia juga hampir produk Yogyakarta, dari Sabang sampai Merauke.

“Saya memang tidak punya data statistik, tetapi menurut saya di atas 50 persen intelektual Indonesia itu dibentuk dari Yogyakarta termasuk di dunia waratawan,” katanya penuh keyakinan.

Direktur Penerbit Ombak ini menambahkan, barisan muda di Yogyakarta itu masih punya potensi besar dibandingkan dengan kota-kota lain. Yogyakarta masih tetap menjadi tujuan dan impian setiap orang untuk belajar.

Jangan lupa, lanjut jebolan sarjana Fakultas Sejarah UGM 2000 ini, Yogyakarta itu adalah miniatur Indonesia. Segala macam suku, budaya dan etnis ada di sini. Dan secara infrastruktur memang sudah menyiapkan berbagai medium untuk itu, dari seni, budaya, pusat studi, dan lain-lain. “Kondisi ini yang tidak ditemukan di daerah-daerah lain,” ungkapnya bersemangat.

Meskipun beberapa penulis muda mulai bermunculan di daerah-daerah lain seperti di Malang, Bandung, Surabaya, Padang dan Bali, tetapi tidak sekuat di Yogyakarta. Di Yogyakarta tingkat perenungannya lebih memungkinkan daripada daerah-daerah lain termasuk di Jakarta. Perenungan itu memungkinkan seseorang dalam berkarya.

“Anda bisa bayangkan kalau tinggal di Jakarta, kondisinya panas, jalan macet. Bagaimana orang bisa berkarya kalau kondisinya seperti itu. Padahal, gagasan dan ide-ide brillian itu muncul dalam kondisi yang tenang dan sepi,” kata Zuly Qadir yang tinggal di Kemasan Sendangtirto, Berbah, Sleman, Yogyakarta.

Di Yogyakarta, iklimnya sangat memungkinkan untuk itu. “Pergaulan kepada orang-orang yang minat membaca dan menulis lebih memungkinkan dan hampir semua buku ada,” ujar Zuly. Selain itu, lanjut dosen di Fakultas Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang juga rajin menulis di media massa ini, situasi dan kondisi untuk melakukan proses berfikir lebih menjamin.

Kelebihan lain di Yogyakarta adalah banyaknya kelompok-kelompok diskusi. Zuly menuturkan, “Hampir semua penulis-penulis hebat di Yogyakarta itu lahir dari kelompok-kelompok diskusi.”

Zuly yang tinggal di Yogyakarta sejak tahun 1990, paham betul bagaimana kelompok-kelompok diskusi itu mewarnai dinamika pemikiran penulis-penulis muda di Yogyakarta. Kordinator Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah Yogyakarta ini bercerita, “Saya pernah diskusi itu mulai jam 10 malam sampai subuh membahas tentang Ali Syari’ati. Semua buku-buku tentang Ali Syari’ati saya baca, dari berbahasa Indonesia sampai berbahasa Inggris. Sehingga mau tidak mau tertantang juga untuk menulis.”

Muhidin M. Dahlan penulis buku Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur, mengaku pertama kali kenal dunia tulis menulis ketika kuliah di IKIP Yogyakarta. “Inspirasi saya menulis karena pengaruh Yogya sebagai kota pendidikan,” akunya.
Bagi Muhidin, Yogyakarta merangsang semua orang yang tinggal di sana untuk beraktivitas. Yogyakarta menjadi tujuan pendidikan, pusat seniman dan pusat buku.
“Perpaduan itu yang membuat Yogyakarta menciptakan kultur baru, termasuk dalam hal tulis-menulis,” jelas Muhidin.

Saya masih ingat, kata Muhidin yang meninggalkan bangku kuliahnya sejak semester III di Jurusan Arsitektur Bangunan UNY ini, di Marioboro itu ada tradisi di mana para seniman, redaktur koran dan aktivis mahasiswa berkumpul bermalam-malam untuk mencari inspirasi.

“Dari situ ide-ide dan gagasan kritis muncul. Ini yang membuat Yogyakarta itu selalu menarik,” akunya. Mereka yang kuliah di Yogya itu latar belakangnya cukup beragam. Kalau ditelusuri mereka ada yang dari keluarga petani, nelayan dan umumnya berasal dari kelas ekonomi menengah kebawah.

“Bisa jadi menulis merupakan salah satu cara untuk bertahan hidup,” kata Zuly Qadir. Sebab, kalau tidak menulis, tuturnya, mereka tidak mungkin bisa bertahan dengan ekonomi yang pas-pasan.

Zuly melanjutkan, meskipun biaya kuliah di Yogyakarta itu murah, namun banyak diantara mereka yang berasal dari mereka miskin Maka sebagian besar honor dari menulis itu digunakan untuk membeli buku dan biaya biaya hidup. “Saya sendiri membiayai kuliah saya di pascasarjana UGM hampir ditopang oleh honor tulisan di media massa,” tuturnya sambil tersenyum.

Harus diakui dibandingkan tahun sembilanpuluhan, penulis-penulis muda pascareformasi memang lebih semarak. Dalam satu minggu mereka bisa dimuat antara satu sampai tiga tulisan. Hal itu tidak lain karena didukung oleh akses buku di Yogyakarta yang cukup banyak dengan beragam konsentrasi. Tetapi, kelemahan mendasar penulis muda sekarang, menurut Zuly, mereka tidak mempunyai karakter.

“Kebanyakan penulis muda sekarang ini ingin menulis semua hal, jatilan ditulis, reok ditulis, politik ditulis, ekonomi ditulis, ini kan namanya tidak punya kejelasan sikap dan karakter. Tidak ada nilai yang ingin disampaikan ke publik, motivasinya mungkin hanya duit,” begitu kata Zuly mengkritik para penulis muda.

Padahal, menulis itu adalah kerja kebudayaan, ada nilai yang harus dipertaruhkan di sana dan itu memberikan sumbangan terhadap peradaban. “Kita tahu bahwa kekuatan dari kata-kata yang dihasilkan dari penulis sangat luar biasa dan itu akan abadi selama-lamanya. Jadi menulis itu harus ada nilai yang dipertaruhkan di sana. Kalau sekadar gagah-gagahan gimana?” kata Nursam dengan ekspresi bertanya.

Dari Coba-Coba sampai Plagiat

Menulis bagaikan mengepulkan asap rokok. Sebaliknya, menulis bagaikan mengkanvaskan cat pada angin, barangkali itulah ungkapan yang pas untuk menggambarkan kegiatan menulis. Mudah, tetapi susah untuk dilakukan. Mudah, bagi mereka yang terbiasa. Sulit, bagi mereka yang tak terbiasa. Apalagi bagi mereka yang baru memulai. Beberapa penulis di Yogyakarta, hampir mengalami dua hal itu. Ada yang mengaku mudah ada juga yang mengaku sukar. Ada yang langsung dimuat di media, ada juga yang puluhan kali ngirim ke media tetapi tidak dimuat-muat.

“Pertama kali saya menulis itu tidak langsung dimuat,” kata Muhammadun AS, menceritakan pengalaman menulis di media. “Setelah beberapa kali menulis baru dimuat,” lanjutnya. Itu pun, kata mahasiswa UIN Sunan Kalijaga ini, yang mendorong saya menulis karena terispirasi oleh kiai saya di pesantren Jombang.
Muhammadun AS mengaku makin produktif menulis ketika bergabung dengan Lembaga Kajian KUTUB Yogyakarta, LKKY sejak tahun 2004. “Kalau tidak dimuat biasanya saya berkunjung ke teman-teman yang lebih senior menimba pengalaman dari mereka. Tujuannya untuk mengembalikan semangat menulis,” begitu ia menuturkan.

“Saya menulis juga karena dibimbing almarhum Zainal Arifin Thoha,” kata M Yunus BS menimpali. Yunus yang juga aktif di LKKY ini menuturkan, setiap hari beliau itu menyuruh minimal harus membuat satu tulisan dengan menggunakan mesin ketik. Beliau itu tidak memberikan kesempatan kepada anak didiknya untuk bermanja-manja.

“Komputer ada, tetapi beliau itu menanamkan semangat dan ketangguhan menulis lebih dahulu. Tetapi meskipun menggunakan mesin ketik dalam waktu satu hari satu malam kami bisa menyelesaikan tiga tulisan, bahkan sampai lima tulisan. Baru setelah tulisan dimuat di media beliau mempersilahkan kami menggunakan komputer,” terangnya.

Semangat juang dan ketangguhan yang ditanamkan Zainal Arifin Thoha kepada kader-kadernya itu pula yang membuat LKKY kini menjadi lembaga penulisan prestisius di Yogyakarta. Kader-kader LKKY setiap minggunya hampir menghiasai semua media, baik lokal maupun nasional, baik di rubrik, opini, sastra dan budaya maupun di rubrik resensi.

Lain halnya dengan Abd. Rahman Mawazi yang akrab dipanggil Maman, ia menulis karena termotivasi oleh teman kostnya yang selalu dimuat di media. “Mulanya saya sama sekali tidak pernah bercita-cita jadi penulis. Tetapi karena saya ngumpul dengan teman saya yang selalu dimuat di media, akhirnya saya ikut menulis,” paparnya.

Maman menjelaskan pengalamannya menulis, “Lalu saya coba-coba ikut-ikutan menulis. Ketika saya menulis saya merasakan kesenangan di situ, apalagi ketika di muat bangganya setengah mati. Sejak saat itu, saya memutuskan untuk terus menulis sampai sekarang.”

Latar belakang lahirnya penulis-penulis muda di Yogyakarta memang beragam, ada yang otodidak, pengaruh teman, seperti Abd. Rahman Mawazi, ada juga yang dididik secara khusus di lembaga kepenulisan, seperti Mohammadun AS atau M Yunus BS. Latar belakang yang berbeda itu pulalah barangkali yang membuat dunia kepenulisan di Yogyakarta selalu eksis dari tahun ke tahun.

Kuatnya tradisi menulis di Yogyakarta itu, tanpa disadari ternyata menginspirasi banyak orang untuk ikut bergelut dalam dunia tulis-menulis. Dinamika dan persiangan yang terjadi antarpenulis pun kian ketat. Setiap minggunya mereka berlomba untuk tampil di media.

Namun, motivasi mereka menulis karena dilatarbelakangi banyak faktor. Ada yang didasari faktor nilai, yaitu ada sesuatu yang ingin diperjuangkan kepada publik melalui gagasan-gagasan yang ada dalam tulisan itu, ada yang karena faktor popularitas, ada juga yang karena faktor ekonomi.

Hampir delapan puluh persen penulis muda di Yogyakarta karena motivasi ekonomi, yaitu uang. Hal ini dapat dilacak dari fenomena tulisan ganda yang kerap ditemukan di media. Satu tulisan dimuat di dua sampai tiga media. Kasus seperti ini banyak terjadi dan umumnya penulis-penulis Yogyakarta.

Bahkan ada pula penulis yang menggunakan tiga nama berbeda dengan judul sama atau judulnya berbeda, tetapi isi keseluruhan di dalamnya sama, dari kalimat pembuka sampai kalimat penutup. “Kadang menggunakan namanya sendiri, nama temannya, nama saudaranya,” kata Zuly Qadir. Selama menulis, lanjut Zuly Qadir, saya tidak pernah mendobel tulisan, apalagi sampai mengunakan nama orang lain.

“Saya tidak tahu apakah ini gejala dekadensi atau apa,” kata M. Nursam, mengomentasi fenomena tulisan ganda, yang kerap terjadi pada penulis-penulis muda sekarang. “Di tahun sembilanpuluhan fenomena itu memang sering terjadi, tetapi tidak sebanyak sekarang,” ungkapnya. Padahal, kalau saya menulis, kata Nursam, ada nilai yang diperjuangkan, seperti melakukan perlawanan terhadap rezim Orde Baru dan militer.

Eko Prasetyo, penulis buku Orang Miskin Dilarang Sekolah, sangat menyayangkan atas maraknya kasus pendobelan tulisan. “Memang penulis-penulis mudah yang muncul di media cukup banyak dibandingkan di masa saya dulu,” akunya. Sayangnya, lanjut pendiri Penerbit Resist Book ini, penulis-penulis muda yang dimuat di media itu sekarang karena faktor ekonomi walaupun ada nilai-nilai perjuangan tetapi kecil.

“Ini bisa dilacak misalnya banyak penulis yang lebih individualis ketimbang membangun gerakan massa rakyat. Walaupun sekarang mereka tidak banyak bergelut di dunia diskusi tetapi mampu menulis. Meski ada anak yang bagus menulis di media, tetapi sama sekali tidak merepresentasikan organisasinya. Ini karena pasar saja,” kritiknya.

Karena faktor yang ekonomi yang menjadi tujuan, akhirnya banyak penulis yang mengambil jalan pintas. “Indiksinya plagiat,” kata Agus Hilman. Hilman membeberkan, “Ada contoh yang menarik, ada teman saya yang menulis di media, tetapi file yang ada di komputer lupa untuk dihapus. Lalu beberapa hari kemudian teman saya ngirim lagi ke media, ternyata file tadi itu sudah dikirim juga ke media atas nama orang.”

Kasus yang diungkap Hilman di atas adalah bagian kecil dari sekian banyak kasus yang kerap terjadi pada penulis-penulis muda di Yogyakarta. plagiat yang dilakukan penulis-penulis Yogyakarta tidak saja mengambil tulisan orang lain di internet, kadang juga mengambil dari “Tajuk Rencana” sebuah surat kabar. Akankah hal ini akan terus terjadi... (Zamaahsari A. Ramzah)

*Digunting dari Majalah Indipendensia Edisi 6 Agustus 2007. Kunjungi blog majalah ini di sini

4 comments:

  1. Salam kenal,

    Setelah saya baca liputan ini, menurut saya, ada satu hal yang belum tercover, yaitu: solidaritas antar-penulis Jogja (saling bantu: pinjam-meminjam buku, pinjam-meminjam duit dll). Inilah yang juga menjadi salah satu alasan eksistensi para penulis Jogja. Setuju?

    Jogja,
    Syaiful Bari

    ReplyDelete
  2. Memang kurang tercover. Intrik2 dan saling jegal-menjegal di antara penulis dan penerbit belum diulas. Coba dilihat buku yang baru terbit: DECLARE! Kamar Kerja Penerbit Jogja 1998-2007

    ReplyDelete
  3. Saya jadi ingat betapa bersemangatnya Muhidin M Dahlan ketika untuk pertama kalinya tulisannya dimuat di salah satu koran nasional.

    ReplyDelete
  4. iyup.. di balik peluang-peluang menyenangkan plus menggairahkan pasti ada intrik di dalamnya. halakh..

    sebab menulis merupakan satu kesatuan siklus dengan membaca. dan ini bagian dari apa yang dinamakan hidup..

    mari menulis untuk kesehatan jiwa dan raga..

    ReplyDelete