Sunday, August 12, 2007

Sebelum Ralat, Buku Dibakar

Kejaksaan terus merazia buku sejarah yang tidak mencantumkan keterlibatan Partai Komunis Indonesia dalam Gerakan 30 September dan peristiwa Madiun. Warta itu tentu saja membuat Tarmono masygul. Dari seorang rekannya di Depok, ia mendengar ribuan buku itu menjadi abu dilahap api. ”Saya sedih. Tidak ada gunanya membakar buku-buku pelajaran SMP dan SMA itu,” kata guru sebuah SMA di pinggiran Jakarta Utara ini. Sebagai guru sejarah, Tarmono pernah membaca buku yang dimusnahkan itu, buku sejarah Indonesia yang diterbitkan sejumlah penerbit Jakarta dan Bandung. ”Saya waktu itu kaget, di situ tidak disinggung sama sekali peran Partai Komunis Indonesia dalam G-30-S,” kata bapak tiga anak yang sudah 16 tahun menjadi guru sejarah ini.

Menurut Tarmono, dari sekitar sepuluh buku pelajaran sejarah yang menjadi acuannya mengajar, buku sejarah tersebut memang lain dari yang lain. ”Pemberontakan PKI tidak disinggung, padahal yang mengarang profesor-profesor,” ujarnya. Tapi Tarmono tak langsung melempar buku tersebut ke keranjang sampah. Seperti yang dilakukan rekannya yang juga guru di sebuah SMA di Depok, buku tersebut tetap dipakainya, tapi hanya untuk pembanding.

Di depan kelas, pria 43 tahun ini menerangkan kepada muridnya perbedaan versi terjadinya peristiwa pada 1965 tersebut. ”Saya jelaskan, mungkin saja ada sesuatu yang belum terungkap di balik peristiwa G-30-S itu.” Karena itulah Pak Guru ini menyesalkan jika buku-buku itu kemudian dibakar. ”Percuma, siapa pun bisa menerbitkannya lagi. Lebih baik menerangkan kepada murid apa isi buku itu dan kelemahannya,” katanya.

Tak hanya di Depok, pembakaran buku sejarah terjadi di banyak kota lain. Sepekan setelah pembakaran di Depok pada 20 Juli lalu itu, hal yang sama di lakukan Kejaksaan Negeri Bogor. Sekitar 1.400 buku sejarah Indonesia untuk SMP dibakar dalam acara ”pemusnahan buku-buku terlarang” di depan kantor kejaksaan negeri.

Di Purwakarta, sejumlah karyawan dinas pendidikan juga melakukan pemeriksaan terhadap sekolah-sekolah yang menyimpan buku-buku tersebut. Hasilnya, sekitar 300 buku diguyur minyak tanah dan ludes dimakan api, empat pekan lalu. ”Buku yang dimusnahkan itu hasil razia dinas pendidikan yang diserahkan ke kami,” kata Kepala Kejaksaan Negeri Purwakarta Untung Wijaya.

* * *



Departemen Pendidikan Nasional sendiri yang meminta buku itu dilarang. Menteri Pendidikan Bambang Sudibyo pada 5 Juli 2006 berkirim surat kepada Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh. Bambang meminta Jaksa Agung melarang peredaran buku-buku sejarah itu lantaran membalikkan fakta yang ada. Tak hanya untuk tingkat SMA dan madrasah aliyah, buku yang dimaksud Bambang itu juga menyebar ke SMP dan madrasah tsanawiyah.

Menurut Menteri, buku itu mengandung sejumlah kesalahan fatal. Selain tidak ada kata ”PKI” di samping kata ”G-30-S”, semua peristiwa lain yang berkaitan dengan peran Partai Komunis Indonesia dikaburkan, misalnya peristiwa pemberontakan Madiun pada 1948. ”Padahal pemberontakan lain, seperti PRRI, Permesta, dan DI/TII, secara eksplisit dimuat,” kata Jaksa Agung Muda Intelijen Muchtar Arifin—kini Wakil Jaksa Agung—saat mengumumkan permintaan Menteri Pendidikan itu, Oktober silam.

Ikatan Penerbitan Indonesia (Ikapi) langsung bergerak. April lalu, organisasi yang memiliki anggota sekitar 700 penerbit ini mengirim surat ke Jaksa Agung. Ikapi minta kejaksaan tak gegabah melarang buku tersebut. ”Karena buku itu juga dibuat berdasarkan kurikulum 2004 yang dikeluarkan Departemen Pendidikan,” kata Ketua Ikapi Setia Dharma Madjid, Rabu pekan lalu, kepada Tempo. ”Kejaksaan waktu itu berjanji akan memperhatikan masukan kami.” Salah satu usul Ikapi, jika ada kesalahan, cukup dibuat ralat pada buku itu. ”Kejaksaan berjanji memperhatikan masukan kami,” kata Setia.

Harapan Ikapi meleset. Kejaksaan Agung ternyata berpendapat buku itu memang ”layak breidel”. Pada 5 Maret lalu, muncul surat keputusan Jaksa Agung yang melarang peredaran 13 buku pelajaran sejarah yang diterbitkan sepuluh penerbit, seperti Erlangga, Yudhistira, Exact, dan Grasindo. Buku itu antara lain Kronik Sejarah, Pengetahuan Sosial, Sejarah Kelas II dan Kelas III SMP, serta Sejarah Nasional dan Umum untuk Tingkat SMA.

Aparat kejaksaan dan dinas pendidikan juga bergerak ke mana-mana. Mereka mendatangi sejumlah sekolah, penyalur buku, dan toko buku, melakukan sweeping, mencari ”buku terlarang” itu. Sejumlah penerbit yang gudangnya diobok-obok aparat melapor ke Ikapi. ”Caranya kasar, seperti merazia pengedar narkoba saja,” kata Setia. Razia dan pembakaran buku sejarah ini tak pelak mengundang reaksi keras dari mana-mana. ”Itu tindakan brutal,” kata pengurus Masyarakat Sejarawan Indonesia, Asvi Warman Adam.

* * *



Kejaksaan memang punya ”taring” untuk mencengkeram buku-buku agar tak beredar ke umum. Sesuai dengan Undang-Undang Kejaksaan, UU Nomor 16/2004, dan UU Nomor 4/Pnps/1963 tentang Pengamanan Barang, institusi ini berwenang untuk melarang dan mengawasi peredaran barang cetakan. ”Di situ disebutkan Jaksa Agung dapat melarang barang cetakan yang mengganggu ketertiban umum,” kata Muchtar Arifin.

Inilah pangkal masalahnya. Menurut sejarawan Anhar Gonggong, pelarangan buku adalah tindakan yang otoriter dan karena itu harus dicabut. ”Sejelek apa pun, buku itu punya makna pengetahuan.” Menurut Anhar, dalam kasus buku sejarah ini, Departemen Pendidikan bertindak keliru. ”Seharusnya Departemen Pendidikan cukup menyatakan buku itu tidak lagi sebagai buku wajib dan lantas membuat yang lain,” kata Anhar. ”Mereka kan punya kewenangan untuk itu, jadi tidak usah melibatkan kejaksaan.”

Dalam soal larang-melarang buku, kejaksaan memang punya ”rekor” tersendiri. Tak hanya buku pelajaran sekolah, novel, atau buku sastra Jawa seperti Serat Gatoloco, bahkan kumpulan kliping surat kabar pun dilarang beredar. Ini misalnya terjadi saat penerbit Mayasati Solo, sepuluh tahun silam, menerbitkan Peristiwa Lampung dan Sekitar Petisi 50 yang dihimpun P. Bambang Siswoyo dari berbagai media. ”Kejaksaan selalu berdalih buku itu mengganggu ketertiban dan mengandung ajaran Marxisme, tapi alasan itu tak bisa dibuktikan,” kata Anhar.

Johnson Panjaitan, pengacara dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), menuding wewenang pelarangan itulah yang membuat kejaksaan mudah membreidel buku secara sepihak. ”Padahal pelarangan itu melanggar konstitusi dan hak masyarakat atas pendidikan,” katanya.

Dalam waktu dekat PBHI akan membawa kasus pelarangan buku ini ke meja hijau. Selain akan mengajukan judicial review UU Kejaksaan ke Mahkamah Konstitusi, PBHI akan menggugat Menteri Pendidikan ke pengadilan tata usaha negara. ”Kami tengah menyiapkan gugatan tersebut,” kata Johnson.

* Digunting dari Mingguan TEMPO Edisi 25/XXXIIIIII/13 - 19 Agustus 2007


No comments:

Post a Comment