Ia mendedikasikan 36 tahun lebih sejak tahun 1971 untuk menguak perjuangan dan kematian Tan Malaka. Itulah pengabdian seorang Harry A Poeze (60), Direktur Penerbitan Institut Kerajaan Belanda untuk Studi Karibia dan Asia Tenggara atau KITLV di Leiden. Karya penelitian Poeze tentang babak akhir hidup Tan Malaka akhirnya tuntas Maret 2007 melalui penerbitan buku Tan Malaka: Verguisd en Vergeten (Tan Malaka: Dihujat dan Dilupakan).
Bermula dari rasa ingin tahu saat dia masih menjadi mahasiswa Jurusan Sejarah di Amsterdam Universiteit, Belanda, Poeze terpikat pada sejarah peralihan dari abad ke-19 ke abad ke-20 yang penuh eksotisme Hindia Belanda. Itulah masa yang jadi inspirasi penulis besar, seperti Pramoedya Ananta Toer dan Rob Nieuwenhuis.
Hindia Belanda kala itu berada dalam pengaruh kuat "Politik Etis" dan mempersiapkan putra-putra penggagas bangsa bernama Indonesia. Dia pun terpikat pada sebuah nama: Tan Malaka.
Nama besar Tan Malaka berulang kali muncul dalam karya-karya ilmuwan Amerika Serikat (AS), Ruth McVey, tentang kelahiran komunis di Indonesia. Rasa penasaran Poeze membawa dia pada awal penelitian mendatangi bekas sekolah dan rumah Tan Malaka di Haarlem, tak jauh dari Amsterdam.
"Tahun 1971 saya bertemu dengan 12 teman sekolah Tan Malaka yang masih hidup. Mereka sama-sama menempuh pendidikan guru (Kweek School) di Haarlem. Begitu dalam kesan yang ditinggalkan Tan Malaka. Bahkan, dokumentasi surat-surat dua guru dia di Sekolah Fort De Kock di Bukit Tinggi, yang memberi rekomendasi dan dukungan, masih terekam baik di Haarlem," cerita Poeze.
Tan Malaka memang amat pandai karena dialah satu-satunya siswa kulit berwarna di Kweek School yang ditempuhnya tahun 1913-1919. Masa Perang Dunia pertama ia lalui di Belanda. Bahkan, setelah dia lulus, direktur Kweek School ketika itu khusus meminta warga Belanda di Sumatera Utara memperlakukan Tan Malaka sebagai orang Eropa.
"Che Guevara Asia"
Penelusuran awal itu menjadi dasar skripsi Poeze. Materi itu juga menjadi bahan penulisan buku Dari Penjara ke Penjara. Poeze lalu melanjutkan pendidikan ke jenjang S-1 hingga S-3. Tan Malaka, yang menurut Poeze adalah "Che Guevara Asia", menjadi obyek penelitiannya.
Penelusuran lebih lanjut dilakukannya di Eropa, Asia, Australia, dan AS. Arsip di Moskwa, Uni Soviet, pelbagai kota di Australia seperti Sydney dan Canberra, serta Washington DC, AS, jadi sumber penelitian.
Arsip Tan Malaka sebagai salah satu tokoh penting tercatat baik di AS dan Australia karena dua negara tersebut menjadi mediator perundingan Belanda-Indonesia pada pascakemerdekaan.
Setelah menyelesaikan disertasi tahun 1976, Poeze mengunjungi Indonesia dan membangun kontak di Jakarta. Namun, misteri Tan Malaka pasca-Proklamasi 1945 masih tertutup kabut gelap.
Kesempatan emas muncul tahun 1980 ketika Poeze bertemu dengan Hasan Sastraatmadja, mantan Sekretaris Tan Malaka, yang dengan antusias membuka pintu bagi penelitian Poeze. Hasan yang bermukim di Jakarta itu lalu memperkenalkan Poeze dengan sejumlah lawan maupun kawan Tan Malaka.
Pelbagai tokoh, seperti Sri Sultan Hamengku Buwono IX hingga Wakil Presiden Adam Malik ditemui Poeze. Adam Malik secara terbuka mendukung ide kerakyatan Tan Malaka, meski dia berdiri di kubu Golongan Karya.
Perjumpaan dia dengan para tokoh 1945 berlanjut, antara lain dengan Jenderal Abdul Harris Nasution, Muhamad Natsir (tokoh Masjumi), SK Trimurti, tokoh pemberontakan Madiun tahun 1948 Sumarsono, serta ratusan tokoh lainnya.
Namun, kesibukan dan tuntutan kerja menghadang upaya penulisan buku pada tahun 1981, saat Poeze ditunjuk menjadi Direktur Penerbitan KITLV Press. Meskipun demikian, dia selalu menyempatkan diri kembali ke Indonesia untuk mengumpulkan data.
Ke Gunung Wilis
Kesempatan menuntaskan misteri Tan Malaka datang tahun 1997 saat Poeze mendapat sabbathical leave selama setahun, yang digunakan untuk menulis buku. Bab I, Tan Malaka Verguisd en Vergeten ternyata memerlukan waktu sepuluh tahun untuk diselesaikan, setebal 2.200 halaman.
Poeze menemui pula tokoh-tokoh pada hari-hari terakhir Tan Malaka. Dia berkeliling ke beberapa pedesaan di kaki Gunung Wilis, Jawa Timur, tempat Tan Malaka bergerilya melawan Belanda.
Napak tilas ditempuhnya di Desa Belimbing yang menjadi markas dan pusat propaganda Tan Malaka bersama 50 anak buahnya. Desa Patje, tempat Tan Malaka ditahan pasukan Divisi Brawijaya pun dia sambangi.
Tempat terakhir, Desa Selo Panggung, yang menjadi puncak riset Poeze adalah tempat Tan Malaka ditembak mati pasukan Batalyon Sikatan pimpinan Letnan Dua Soekotjo. Tan Malaka tewas pada 21 Februari 1949.
"Bahkan, tubuhnya tak diperlakukan layak. Untung Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah berjanji mengirim tim forensik ke Desa Selo Panggung untuk mencari sisa jenazah Tan Malaka. Beliau bernasib tragis sebagai pahlawan nasional yang namanya timbul-tenggelam dalam sejarah, karena keberadaan dia tergantung pada kepentingan penguasa," tutur Poeze.
Fakta sejarah itu dipersembahkan Poeze untuk masyarakat Indonesia lewat buku yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, sebanyak enam jilid. Buku tersebut akan diluncurkan akhir tahun ini. Bagi Poeze, Tan Malaka adalah sosok pemimpin kerakyatan yang ideal bagi generasi sekarang.
Harta yang ditinggalkannya hanya sepasang kemeja, topi, celana, tongkat, pensil, dan buku tulis—benda yang menjadi andalan baginya untuk menulis sejarah. Tan Malaka membuktikan harta terbesar sebuah bangsa adalah kekayaan pemikiran yang disajikan lewat guratan pena.
*Digunting dari Harian Kompas Senin, 13 Agustus 2007
Sunday, August 12, 2007
Harry A Poeze, 36 Tahun Berburu Jejak Tan Malaka
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
:: Awal :: Kliping :: Esai :: Resensi :: Tips :: Tokoh :: Perpustakaan :: Penerbit :: Suplemen Khusus :: Buku Baru :: Undang-Undang ::
No comments:
Post a Comment