Saturday, August 11, 2007

Manga Seng Ada Lawan

Duduk di lantai tepat di depan pintu masuk Gedung Landmark, Kota Bandung, Jawa Barat, Adnia, 12 tahun, tekun membaca komik Petualangan Doraemon. Di sampingnya ada Kirana dan Shofa, 7 tahun, yang asyik membolak-balik komik fiksi berbahasa Inggris. "Judulnya Who Is She? Who Is He? Siapakah Dia?," ujar Kirana Selasa lalu. Lalu-lalang orang yang keluar-masuk arena pameran buku Selasa siang itu tak membuat ketiganya terganggu.

Adnia, Shofa, dan Kirana adalah tiga dari puluhan anak yang siang itu mengunjungi pameran yang sudah berlangsung sejak awal Agustus tersebut. Pameran itu menyajikan berjenis-jenis bacaan anak, mulai buku-buku sekolah, buku ilmu pengetahuan, buku fiksi, fiksi bergambar, buku-buku edutivity (education and activity), hingga komik. Dari buku umum hingga buku yang sarat dengan warna tertentu--seperti Islam, misalnya--tersaji di sana.

Anak-anak kini memang punya lebih banyak pilihan. Penerbit seperti berlomba menciptakan berbagai kreasi baru untuk merebut pasar yang kemampuan membelinya sangat bergantung pada daya beli dan keputusan orang tua itu. Beberapa penerbit seperti Gramedia Pustaka Utama dan Elex Media Komputindo mengakui pasar buku anak memang tidak sesemarak buku untuk pangsa remaja atau dewasa (lihat, "Akan Kinclong Suatu Ketika").

Meski begitu, "Bisnis buku anak akan langgeng karena jenis buku ini merupakan kebutuhan," ujar Dona Wijayanto, editor buku fiksi untuk anak penerbit Gramedia Pustaka Utama. Lantaran buku anak merupakan kebutuhan, kata Dona, sebenarnya tidak ada tren bacaan anak. Dari tahun ke tahun bacaan yang laris dan diminati adalah buku cerita bergambar atau komik. Buku cerita yang diputar di bioskop atau di televisi akan lebih mudah dipasarkan.

Beberapa buku cerita bergambar yang laris di antaranya adalah Finding Nemo, Cars, dan Teletubbies. Buku-buku ini dicetak berulang kali tanpa perlu diiklankan. Begitu pun buku bacaan yang karakternya sudah dikenal, seperti tokoh kartun Walt Disney dan Barbie. "Kalau ada filmnya, kami tinggal ngikut saja," kata Dona. Film--baik di televisi maupun di layar lebar--merupakan media promosi yang ampuh bagi bahan bacaan seperti itu.

Namun, dibandingkan dengan buku-buku itu, berbagai komik atau cerita bergambar dari Jepang--populer disebut manga atau mangaka-adalah yang paling laris. Penggemar komik anak pastilah kenal tokoh Kungfu Boy atau Shinchan. Juga Sailor Moon dan Doraemon, yang diterbitkan Elex Media Komputindo mulai awal 1990-an. Sukses komik-komik itu tak lepas dari sokongan film serialnya yang diputar di televisi. Doraemon bahkan diangkat ke layar lebar.

Komik-komik Jepang itu terus dicetak ulang sampai sekarang dan tentu saja mempunyai penggemar setia. Adnia, yang sudah kelas VI SD, misalnya, masih saja mengikuti komik serial Doraemon, robot kucing dari abad ke-22, sohib bocah malas Nobita. Padahal, "Saya membaca komik Doraemon sejak kelas III," ujar Adnia.

Anggota staf pemasaran penerbit Elex Media Komputindo, Toni Rizal, mengatakan kesuksesan memasarkan dua komik Jepang itu sedikit-banyak mengubah arah perusahaannya. Elex Media, yang berada di bawah Kelompok Kompas Gramedia, yang awalnya menerbitkan buku-buku tentang elektronika, "Sekarang lebih banyak menerbitkan komik Jepang," kata Toni Selasa lalu di Bandung.

Tiap bulan, kata Toni, Elex Media menerbitkan setidaknya empat judul komik baru. Biasanya, untuk penerbitan komik edisi pertama judul baru, Elex Media hanya mencetak 6.000 eksemplar. Kalau edisi perdana laku keras, "Berikutnya akan dicetak ulang (dengan jumlah) berlipat-lipat," kata Toni. Bahkan bisa dicetak hingga 100 ribu eksemplar.

Selain Doraemon dan Sailor Moon, komik terbitan Elex Media yang laris adalah Naruto dan Conan, si detektif cilik. Omzet penjualan masing-masing komik berbeda di tiap daerah. Tapi, di antara komik-komik itu, Naruto yang paling laris. Berbekal pengalaman itu, Elex Media akan menerbitkan manga remaja serial Nakayoshi, Shonen Star, dan Shonen Mags. "Sekarang pendapatan kami 70 persen berasal dari komik," kata Toni.

Saking kuatnya, manga tak hanya merajai pasar komik, tapi juga berpengaruh terhadap penulis komik. Dwiyanto Setyawan, penulis cerita Sersan Grung-grung pada 1970-an, mengatakan sebenarnya banyak penulis komik anak dari Indonesia. Agar cepat diterima pasar, mereka menggunakan nama Jepang. "Kalau memakai nama Indonesia, bukunya tidak akan laku."

Nasib baik komik Jepang ini berkebalikan dengan nasib komik lokal seperti komik wayang dan seri cerita rakyat. Seri cerita rakyat memang selalu dibutuhkan karena biasanya menjadi buku wajib di sekolah. Tapi bacaan seperti ini biasanya tidak membuat anak-anak keranjingan. Buku-buku ini akhirnya tidak dicetak lagi. "Sisanya diobral Rp 10 ribu untuk tiga eksemplar," kata Toni.

Perkembangan ini membuat gundah Ketua Komisi Perlindungan Anak Seto Mulyadi. Buku untuk anak, kata Seto, idealnya dibuat untuk membantu pembentukan karakter dan mengajarkan hal-hal positif, seperti nasionalisme, kejujuran, dan kreativitas. "Bukan sekadar untuk hura-hura."

Buku untuk anak, kata Seto, harus dibuat sesuai dengan perkembangan anak. Ketika anak sudah bisa membaca, buku seharusnya memiliki porsi lebih banyak untuk tulisan. Menurut Seto, novel atau buku cerita lebih baik ketimbang komik. Tulisan akan memperluas imajinasi, sedangkan komik terlalu mendikte anak dan membuat anak tidak bisa berimajinasi.

Di luar komik, buku-buku pengetahuan cukup diminati. Buku-buku jenis ini--yang disajikan dengan banyak ilustrasi--diterbitkan berseri seperti seri penemuan, seri tokoh dunia, atau seri mesin-mesin besar. Buku-buku itu, kata Dwiyanto, bisa laku hingga 10 ribu eksemplar. "Bandingkan dengan buku cerita anak, yang rata-rata laku hanya 2.000 eksemplar," ujar Dwiyanto, yang kini tidak lagi menulis cerita anak. Dona sependapat dengan Dwiyanto. Animo besar terhadap buku pengetahuan itu, kata Dona, karena orang tua melihat manfaatnya.

Yang agak menggembirakan adalah munculnya buku baru yang mendidik, seperti edutivity (education and activity), yang sebagian besar ditulis penulis lokal. Buku yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama ini menggabungkan penyajian cerita sekaligus melatih keterampilan melipat dan menggambar. DAR! Mizan, yang berpusat di Bandung, mengeluarkan komik serial Cerita Balita. Buku ini diharapkan bisa membantu orang tua mendidik anaknya yang masih balita belajar tentang bidang-bidang ilmu matematika, biologi, dan fisika.

Unggulan DAR! Mizan lainnya adalah My Special Friend, dengan tokoh utama Sali dan Saliha. Serial fiksi ini diterbitkan untuk mendidik anak agar menghormati anak-anak lain dengan kebutuhan khusus (special), seperti penyandang cacat dan autisme. "Belum ada penerbit lain yang menerbitkan buku serupa," kata Chief Executive Officer DAR! Mizan Andi Yudha Asfandiyar kepada Tempo Selasa lalu.

Kecil-kecil Punya Karya, terbitan DAR! Mizan, pun laris. Penulis-penulis cilik berusia 7-12 tahun, seperti Faiz, Caca, Aini, Izzati, Alline, dan Ali Rizab, telah menulis 13 buku dan sembilan di antaranya telah diterbitkan. "Ini best-seller kami yang bisa memotivasi anak untuk menulis, bukan cuma mewarnai," kata Andi.

Fiksi hasil karya penulis para bocah ini disambut baik oleh penulis anak dan remaja, Gola Gong. Dunia anak, kata Gola, barangkali lebih bisa dipahami oleh anak-anak sendiri. Menurut dia, ini bukan hal yang sama sekali baru karena ia pun telah menulis sejak masih bocah. Namun, "Sekarang sedang tumbuh anak-anak yang membaca karya temannya sendiri. Telah masuk peradaban baru," ujar ayah penulis cilik Nabila Nurkhalisah itu.

Masalahnya, bisakah buku-buku yang lebih mendidik ini melawan kekuasaan manga di pasar? "Tren belum ke arah positif. Masih kurang buku-buku edukatif bagi anak," kata Seto. Kalaupun masih kurang, hal-hal baru ini memperkaya pilihan bagi anak.


Akan Kinclong Suatu Ketika

Jika dibandingkan, di antara buku untuk dewasa, buku chicklit, teenlit, dan buku untuk anak, manakah yang paling lemah di pasaran? "Buku masih didominasi pasar dewasa dan remaja," ujar editor buku fiksi penerbit Gramedia Pustaka Utama, Dona Widjajanto.

Buku-buku teenlit, misalnya, membanjiri pasar sejak muncul pertama kali pada 2004. Beberapa judul bahkan diangkat ke layar lebar, yang mendongkrak popularitasnya jauh melampaui chicklit, pendahulunya. Padahal sebuah buku chicklit--seperti Princess Diaries--ada yang dicetak ulang dalam waktu enam bulan.

Pasar buku untuk anak, kata Dona, tidak sebergairah pasar buku yang lain. Bisa menembus (penjualan dengan) angka 5.000 eksemplar saja dalam waktu satu tahun, itu sudah terbilang spektakuler. Minat membaca pada anak-anak sebenarnya terus meningkat. Namun, agaknya minat baca tidak berbanding lurus dengan angka penjualan buku, karena angka penjualan buku anak tak hanya bergantung pada minat baca.

Menurut Dona, hal lain yang sangat menentukan adalah daya beli. Anak-anak tak bisa membeli sendiri buku-buku yang diminati. Kemampuan membeli anak-anak masih sepenuhnya ada pada kontrol orang tua. Sedangkan remaja, apalagi orang dewasa, sudah punya uang sendiri untuk membeli buku.

Kalaupun bersedia membelikan buku untuk anaknya, orang tua berhitung benar tentang harga. Yang harganya terlalu mahal tak bakal laku. Para orang tua khawatir, "Sudah membeli mahal-mahal, baru dibawa pulang langsung dirobek anaknya," kata Dona. Harga mesti dijaga agar tetap murah.

Selain kontrol orang tua dan harga, memproduksi buku anak memerlukan "energi" lebih besar ketimbang buku lainnya. Kualitas kertas dan proses pembuatan buku anak meminta perhatian ekstra penerbit. Untuk membuat buku teenlit, misalnya, kertas HVS atau kertas koran saja cukup. Tapi, untuk buku anak, diperlukan art paper. Art paper diperlukan agar sajian ilustrasi menjadi lebih menarik bagi anak.

Dwiyanto Setiawan, yang penulis artikel dan cerita anak sejak 35 tahun lalu, menyatakan ilustrasi sangat penting bagi anak. Anak-anak saat ini sudah terbiasa dengan visualisasi yang disajikan oleh televisi. Sehingga, kata Dwiyanto, ilustrasi menjadi bagian sangat penting dalam buku anak.

Dalam proses pembuatan buku anak, ilustrasi bisa menentukan berlanjut atau mandeknya sebuah buku. Menurut Hetih Rusli, sejawat Dona di Gramedia, banyak penulis buku anak yang tidak bisa menggambar. Sebaliknya, banyak pula yang menawarkan konsep gambar yang baik tapi belum tentu sajian ceritanya menarik. Kalau begini masalahnya, editorlah yang mesti berperan mempertemukan penulis dengan ilustrator. Ini pun kadang tak bisa klop. Jika editor gagal menjembatani keduanya, penulisan cerita pun mandek.

Jika penulisan cerita berlangsung, bukan berarti persoalan selesai. Bila ingin merebut pasar, buku anak tak cukup dibuat cuma satu judul, tapi harus ditulis berseri. Dan apabila sukses di pasar, royalti mesti dibagi berdua untuk penulis dan ilustrator.

Sudah royalti buku anak tidak bisa dinikmati sepenuhnya oleh penulis atau ilustrator, proses pembuatannya pun tidak sederhana. Padahal, untuk membuat chicklit, misalnya, penulis hanya bisa mengerjakannya dalam dua pekan. Maka, tak aneh, kata Hetih, jika naskah untuk buku anak yang dikirim ke Gramedia cuma beberapa gelintir, jauh lebih sedikit ketimbang naskah untuk remaja dan dewasa.

Namun, Hetih optimistis suatu saat pasar buku anak membaik. Dalam setahun terakhir pengirim naskah untuk anak relatif lebih banyak. Penulis untuk buku dewasa dan remaja mulai tertarik menggarap kelompok pembaca dini ketika sudah memiliki anak. Penulis-penulis baru pun mulai bermunculan selama dua tahun belakangan ini. Mereka adalah mahasiswa yang membuat buku anak sebagai tugas akhir. Ilustrator muda lulusan Institut Teknologi Bandung dan Institut Kesenian Jakarta pun mulai tertarik. "Gambar yang dihasilkan tidak kalah oleh ilustrator luar negeri," kata Hetih.

Optimisme Hetih sepertinya tidak berlebihan. DAR! Mizan, penerbit buku anak dengan warna Islam yang kuat, telah membuktikan bahwa pasar buku anak memang menjanjikan jika digarap serius. Bos DAR! Mizan, Andi Yudha Asfandiyar, mengaku divisi anak dan remaja bisa mandiri setelah tujuh tahun berjalan. "Mulai 2000, kami jadi penerbit sendiri dan menyaingi Mizan, sebagai induk perusahaan yang menerbitkan buku dewasa."

* Digunting dari Harian Koran Tempo Edisi 12 Agustus 2007

No comments:

Post a Comment