Keluhan masyarakat mengenai mahalnya buku teks pelajaran di sekolah, yang muncul setiap tahun ajaran baru, hingga kini belum juga mendapat solusi yang memuaskan. Kebijakan yang berpihak kepada masyarakat yang ingin mendapatkan buku yang murah, tetapi tetap mendukung tumbuhnya industri perbukuan yang sehat, dirasakan belum optimal karena para pemangku kepentingan masih berjalan sendiri-sendiri.
Persoalan tersebut mencuat dalam acara rapat dengar pendapat mengenai evaluasi dan dampak kebijakan persaingan usaha terkait mahalnya harga buku teks pelajaran sekolah yang digagas Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) di Jakarta, Senin (23/7). Kegiatan ini dilakukan KPPU untuk penelitian dalam perspektif persaingan usaha, khususnya di bidang industri perbukuan.
KPPU menduga adanya berbagai distorsi di lapangan sehingga kebijakan yang dibuat pemerintah terkait dengan harga buku teks dan distribusinya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Padahal, struktur industri buku di Indonesia saat ini sebenarnya sudah cukup kompetitif.
Setidaknya ada 700 penerbit buku. Namun, hanya sekitar 30 persen yang secara reguler menerbitkan bukunya. Sebagian besar penerbit itu memiliki percetakan dan distributor sendiri.
Selain itu, toko buku yang dianggap sebagai pasar dari buku teks pelajaran sekolah belum dapat memberikan kontribusi yang maksimal. Saat ini, jumlah toko buku di Indonesia berkisar 2.000 toko. Padahal, pada tahun 1990- an jumlah toko buku mencapai 5.000 toko.
Menyusutnya toko buku ini diduga karena adanya pemasaran secara langsung yang dilakukan penerbit ke sekolah-sekolah di Indonesia. Jalur distribusi yang dilakukan para penerbit adalah penerbit-kepala sekolah-guru dan siswa; penerbit-kepala dinas- kepala sekolah-guru dan siswa; atau penerbit-guru-siswa. Praktik semacam ini jelas bertentangan dengan peraturan yang berlaku.
Wanti Syaifullah, Sekretaris Jenderal Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi), mengatakan, tidak tuntasnya soal mahalnya harga buku teks dan pola distribusinya ini karena semua pemangku kepentingan belum duduk bersama. "Seperti sekarang saja pihak dari toko buku, Badan Standar Nasional Pendidikan, atau Komisi X DPR—yang juga penting terlibat dalam masalah ini—tidak hadir. Sampai saat ini belum pernah ada keinginan yang sama untuk menuntaskan masalah ini. Padahal, Ikapi sangat membuka diri untuk bisa berdialog," kata Wanti.
Menurut Wanti, jalan tengah dari persoalan yang ada di masyarakat ini yang perlu dicarikan jalan keluar. "Jika kebijakan pemerintah masih seperti sekarang, lama-lama industri buku bisa mati," kata Wanti.
Suyanto, Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional, mengatakan bahwa pemerintah tentu saja mendukung pengadaan buku pelajaran sekolah yang murah. Aturan-aturan sudah ada, termasuk juga untuk melarang penjualan langsung buku kepada siswa di sekolah.
*Digunting dari Harian Kompas Edisi Rabu 25 Juli 2007
Friday, July 27, 2007
Persoalan Buku Teks Belum Juga Terpecahkan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
:: Awal :: Kliping :: Esai :: Resensi :: Tips :: Tokoh :: Perpustakaan :: Penerbit :: Suplemen Khusus :: Buku Baru :: Undang-Undang ::
No comments:
Post a Comment