Friday, July 20, 2007

Depok Musnahkan 1.247 Buku Sejarah

Kejaksaan Negeri Kota Depok memusnahkan 1.247 buku sejarah kurikulum 2004, yang isinya antara lain tidak memuat tulisan G-30-S/PKI, tapi hanya menulis G-30-S, di depan kantor Kejaksaan Depok pada Jumat 20 Juli 2007.

Pemusnahan buku sejarah dengan cara dibakar dilakukan secara simbolis oleh Kepala Kejaksaan Negeri Depok Bambang Bachtiar, Wali Kota Depok Nurmahmudi Ismail, dan Kepala Dinas Pendidikan Depok Asep Roswanda.

Buku sejarah yang dimusnahkan itu disita dari lima sekolah menengah pertama negeri dan tiga sekolah menengah atas di Kota Depok, yakni SMPN 1 Depok sebanyak 737 buku, SMPN 11 (243 buku), SMPN 3 (152 buku), SMPN 6 (80 buku), SMPN 10 (2 buku), SMAN 5 (24 buku), SMAN 6 (6 buku), serta SMAN 3 (3 buku).

Bambang Bachtiar menjelaskan pihaknya akan terus melakukan penyisiran dan menyita buku sejarah kurikulum 2004 sampai buku tersebut tidak lagi beredar di Depok.

Menurut dia, penyitaan dan pemusnahan buku sejarah kurikulum 2004 mengacu pada Surat Keputusan Kejaksaan Agung Nomor 019/A-JA/10/2007 tertanggal 5 Maret 2007 tentang penarikan buku sejarah kurikulum 2004.

Selain itu, penyitaan berdasarkan instruksi Kejaksaan Agung Nomor 003/A-JA/03/2007 tertanggal 3 Maret 2007 tentang tindakan penarikan buku sejarah kurikulum 2004 dan Surat Perintah Kejaksaan Agung Nomor Ins.003/A-JA/03/2007 tentang penarikan buku sejarah kurikulum 2004. "Kami akan terus mencari (buku sejarah) ke sekolah-sekolah di Depok," kata Bambang seusai acara pemusnahan buku sejarah itu.

Sejarawan Asvi Warman Adam menilai pembakaran buku sejarah kurikulum 2004 di Kota Depok adalah tindakan antiperadaban. "Itu tindakan brutal dan keterlaluan," ujar Asvi ketika dihubungi Tempo kemarin.

Asvi, yang sejak awal tidak setuju dengan penyitaan buku sejarah, menilai tindakan pembakaran semakin mencoreng dunia pendidikan nasional. Apalagi dilakukan di awal tahun ajaran baru.

Menurut dia, sebaiknya buku itu dibiarkan saja. "Toh, memang sudah tidak dipakai lagi," katanya. Sebab, kini sekolah menggunakan buku dengan kurikulum 2006.

Asvi menilai buku kurikulum 2004 lebih baik daripada kurikulum 2006, 1994, dan 1999. Pada 2004 dibuat kurikulum baru yang lebih bersifat nasional. "Jadi pemberontakan itu dilihat dalam perspektif nasional," ujarnya.

Ada empat indikator penilaian yang digunakan, menurut Asvi, yakni standar kompetensi, materi, dan tolok ukur. "Pada kurikulum 2006 guru lebih bebas menyampaikan materi sejarah," katanya.

Dia meminta larangan terhadap buku kurikulum 2004 dicabut. Dengan adanya larangan itu, kata Asvi, penerbit buku mengalami kerugian secara materi dan psikologi. "Mereka (penerbit) diperlakukan seperti terlibat narkoba."

* Digunting dari Koran Tempo Edisi Sabtu, 21 Juli 2007

No comments:

Post a Comment