Sunday, July 29, 2007

Benang Kusut Bernama Buku Pelajaran

Buku pelajaran merupakan komoditas kebudayaan yang diperebutkan oleh para pelaku industri buku Indonesia. Penerbit, toko buku, maupun sekolah sama-sama berharap bisa menangguk keuntungan dari komoditas ini.

Persoalan muncul ketika peran toko buku dalam mata rantai produksi–distribusi–konsumsi buku pelajaran diperkecil porsinya. Penerbit sebagai produsen berhubungan langsung dengan sekolah sebagai konsumen. Persoalan penerbit yang menjual langsung buku pelajaran ke sekolah-sekolah telah lama menjadi keprihatinan toko buku.

Dalam sebuah forum penerbit yang diselenggarakan Yayasan Adikarya Ikapi (Ikatan Penerbit Indonesia) di Jakarta pada 27 Juni 2007, Ketua Gabungan Toko Buku Indonesia (Gatbi) Firdaus Umar memberi sinyalemen bahwa selama hampir satu dekade terakhir jumlah toko buku di Indonesia menyusut hampir separuhnya.

Awal tahun 2000 masih terdapat sekitar 4.000 toko buku di seluruh Indonesia. Namun, saat ini jumlahnya tinggal sekitar 2.000 toko buku.

Salah satu hal yang menjadi penyebab tutupnya toko-toko buku tersebut adalah semakin banyaknya penerbit buku pelajaran yang menjual langsung buku-bukunya ke sekolah. Padahal, "Penjualan buku pelajaran yang terjadi beberapa bulan setiap tahun sangat dominan bagi kelangsungan hidup toko buku setahun ke depan," kata Firdaus Umar.

Artinya, kalau dibandingkan dengan omzet buku umum, omzet buku pelajaran jauh lebih tinggi. Inilah yang membuat satu per satu toko buku, terutama toko buku kecil di daerah, berguguran.

Sebenarnya, tata niaga buku pelajaran sudah diatur pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 11 Tahun 2005 yang di dalamnya menyatakan bahwa peserta didik dan orangtua murid membeli buku pelajaran di pasar.

Pertanyaannya, mengapa penerbit memilih menjual buku-buku pelajaran langsung ke sekolah dan tidak ke toko buku? Jawaban atas pertanyaan ini terkait dengan beberapa pihak, yaitu keadaan yang ada di toko buku sendiri, penerbit yang memiliki kepentingan, dan pihak sekolah yang menjadi muara dari mata rantai industri buku pelajaran.

Mengelaborasi situasi dan kondisi dari masing-masing pihak barangkali dapat memperjelas gambaran persoalan yang sedang terjadi.

Keterbatasan toko buku

Sebagai distributor, toko buku memang seharusnya mengambil peran sebagai penyalur buku- buku pelajaran ke konsumen. Dalam level tertentu, peran ini sudah dijalankan. Meski demikian, toko buku memiliki keterbatasan dalam menampung maupun mempromosikan buku-buku pelajaran yang dipercayakan penerbit kepadanya.

"Tidak mungkin toko buku bisa menmajang semua buku pelajaran yang diterbitkan para penerbit. Biayanya akan mahal sekali untuk menyewa tempat," papar Setia Dharma Madjid, Ketua Ikapi.

Konsep toko buku sendiri merupakan tempat para konsumen proaktif datang untuk membeli buku. Dengan konsep seperti ini, toko buku cenderung pasif dan menunggu konsumen datang.

Dalam beberapa hal, toko buku memang berupaya menarik pengunjung dengan tawaran diskon dan berbagai hadiah. Meski demikian, upaya tersebut belum mampu mempromosikan buku pelajaran setiap penerbit. Seperti diungkapkan Subadri, Direktur Pemasaran Inti Media, "Toko buku selama ini tidak melakukan promosi buku-buku pelajaran yang kami terbitkan."

Senada dengan Subadri, Setia Dharma Madjid mengemukakan, kebanyakan buku pelajaran yang dikirim penerbit ke toko buku memakai sistem konsinyasi sehingga jika promosi buku pelajaran tidak gencar dilakukan toko buku, pendapatan penerbit sama sekali tak dapat menjamin keberlangsungan penerbitan buku-buku pelajaran lainnya.

Lebih jauh, jumlah dan sebaran toko buku sendiri masih sangat rendah jika dibandingkan dengan jumlah dan sebaran konsumen pengguna buku pelajaran. Hampir semua toko buku berdiri di kota-kota besar maupun kota kabupaten. Padahal, sekolah ataupun siswa tersebar hingga pelosok desa.

"Cukup sulit bagi siswa yang tinggal di pelosok desa atau jauh dari kota kabupaten untuk datang membeli buku ke toko buku. Ini tentunya berkaitan dengan biaya maupun akses transportasi," kata Setia Dharma Madjid.

Ia mencontohkan kondisi di Papua yang belum mempunyai toko buku yang representatif untuk memenuhi kebutuhan akan buku. Kondisi obyektif toko buku inilah yang ikut memicu penerbit bergerak sendiri memasarkan buku-bukunya langsung ke sekolah.

Bisnis menggiurkan

Dari pihak penerbit sendiri, bisnis buku pelajaran merupakan lahan yang sangat menggiurkan. Daripada menerbitkan buku-buku umum yang tidak terlalu pasti pasarnya, buku-buku pelajaran merupakan komoditas dengan jumlah konsumen yang sangat besar dan jelas targetnya. Dengan demikian, dapat dipastikan pendapatan penerbit yang bermain di sektor ini akan sangat memadai.

Sebagai contoh, Inti Media yang sejak tahun 1998 menerbitkan buku pelajaran mengaku memiliki jangkauan distribusi di Jakarta dan sekitarnya. Di tingkat SD saja, Inti Media menerbitkan buku yang lolos seleksi Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) untuk mata pelajaran Agama, PPKN, Bahasa Inggris, serta Kerajinan Tangan dan Kesenian untuk kelas I-VI.

Oplah minimum tiap buku yang diterbitkan sebanyak 4.000 eksemplar dan dijual dengan harga antara Rp 20.000 dan Rp 30.000. Jika penerbit memetik 5 persen profit saja, sekitar Rp 4 juta untuk satu judul buku masuk kantong penerbit. Silakan menghitung perolehan total untuk buku di seluruh tingkatan pendidikan.

Penerbit lainnya, Grasindo, menyebarkan buku-buku pelajaran hingga kota-kota di Sumatera, Sulawesi, dan Bali selain di Pulau Jawa. Buku-buku Grasindo yang berhasil lolos penilaian BSNP meliputi semua level pendidikan dan mencakup 4 mata pelajaran di tingkat dasar, 6 mata pelajaran di level menengah, dan 3 mata pelajaran di tingkat SMA.

Dengan harga buku di atas rata-rata buku pelajaran umumnya, buku Fisika untuk SMA, misalnya, dijual dengan harga Rp 67.000, target pasar buku terbitan Grasindo adalah sekolah level menengah-atas, seperti sekolah swasta maupun sekolah negeri favorit.

Perhitungan pasar dan pendapatan besar inilah yang merupakan faktor yang mendorong penerbit berekspansi sendiri di luar toko buku. Inti Media mengakui bahwa distribusi buku pelajaran yang dilakukannya langsung ke sekolah mengambil porsi terbesar, yaitu 80 persen, dibandingkan dengan ke toko buku yang hanya 10 persen.

Grasindo, dengan mengandalkan beberapa agen pemasaran untuk menjual buku-buku terbitannya, melempar sekitar 60 persen produknya ke sekolah, sedangkan ke toko buku sekitar 30 persen.

Selain pemasukan yang besar, dalam kenyataannya, para penerbit ikut serta menyediakan lapangan pekerjaan bagi puluhan tenaga pemasaran lepas. Inti Media sendiri dibantu 15 tenaga penjual yang mendatangi sekolah-sekolah. Mereka mendapatkan penghasilan setingkat upah minimum regional (UMR) ditambah dengan komisi dan uang makan serta transpor. Adapun Grasindo menyerahkan buku-buku terbitannya kepada beberapa agen buku, seperti Usaha Bersama dan Flamin.

Kerja sama antara penerbit dan sekolah tidak akan berlangsung mulus apabila pihak sekolah tidak mendapat keuntungan dari bisnis ini. Keuntungan minimal adalah mengurangi kerepotan pihak sekolah menentukan buku-buku yang akan dipakai dalam proses belajar- mengajar.

Seperti dikemukakan pengurus buku SD St Vincentius, Jakarta Timur, FR Nunuk Dwihartati, "Setiap tiga bulan sebelum tahun ajaran berakhir, penerbit-penerbit datang ke sekolah kami sambil membawa contoh buku-buku terbitan mereka. Di situ kami memiliki kesempatan untuk membandingkan isi buku-buku yang sesuai kurikulum dan memiliki pendalaman materi ajar."

Pada saat itu, biasanya toko buku belum menyediakan buku-buku baru dari para penerbit. Selain itu, penyediaan buku oleh sekolah dapat membantu orangtua murid yang tidak mau repot ke toko buku untuk melengkapi buku-buku pelajaran anaknya.

Diakui juga oleh pihak sekolah bahwa mereka mendapat rabat 20 persen dari para penerbit. "Rabat 20 persen itu dikelola oleh koperasi sekolah," papar Nunuk.

Dengan adanya koperasi sekolah, menurut Setia Dharma Madjid, sebetulnya pihak sekolah maupun penerbit tidak melanggar aturan yang tercantum dalam Permendiknas Nomor 11/2005. Pengertian pasar di sini tidak dibatasi hanya pada agen ataupun toko buku, tetapi juga koperasi sekolah.

Bagi orangtua murid sendiri, sebenarnya tidak terlalu berpengaruh apakah buku-buku itu dibeli di sekolah atau di toko buku sepanjang harganya terjangkau kocek mereka. Manto, yang dua anaknya bersekolah di sekolah swasta, harus mengeluarkan uang Rp 900.000 hanya untuk buku pelajaran.

Aloysius, yang anaknya bersekolah di tempat yang sama, mengeluhkan adanya perbedaan harga antara buku-buku pelajaran yang dijual di sekolah dan di toko buku. Ia menyebutkan sebuah buku Pendidikan Budaya dan Lingkungan Jakarta dijual di sekolah dengan harga Rp 22.000, sementara di toko buku hanya Rp 19.500.

Untuk kasus-kasus seperti ini, Ketua Ikapi menyatakan memang ada sekolah-sekolah yang meskipun sudah mendapat rabat dari penerbit, tetap menaikkan harga buku pelajaran. "Biasanya sekolah-sekolah itu mengatakan bahwa uang itu diperlukan untuk pembangunan gedung sekolah dan sebagainya. Nah, kalau sudah begitu, kan itu persoalan di sekolah tersebut," ungkap Setia Dharma Madjid.

Penerbit dirikan toko buku

Di kalangan penerbit sendiri sebenarnya ada juga yang tidak konsisten menjalankan perannya. Seperti dikemukakan Firdaus Umar, "Di Lampung ada toko buku yang terpaksa mencari buku pelajaran sampai ke Sumatera Barat karena penerbit di wilayah itu tidak mau memberikan bukunya. Ini berdasarkan laporan cabang-cabang Gatbi di sana."

Dengan semua persoalan dan perdebatan yang sedang berlangsung saat ini, Ikapi dalam salah satu keputusan kongresnya tahun 2006 menetapkan bahwa akan didirikan beberapa toko buku di daerah-daerah oleh beberapa penerbit untuk mengisi kekurangan jumlah dan sebaran toko buku untuk mendistribusikan buku-buku pelajaran.

Para penerbit yang mendirikan toko buku itu otomatis akan menjadi anggota Gatbi dan bersama-sama berupaya membangun kembali tata niaga perbukuan yang karut-marut ini.

Pengaturan tata niaga perbukuan di Indonesia tentunya sangat ditentukan oleh ditegakkannya peraturan yang telah ditetapkan pemerintah dan disepakati bersama oleh para pemegang kepentingan.

"Sampai saat ini, pemerintah belum pernah menindak tegas mereka-mereka yang melanggar ketentuan yang telah ditetapkan," ujar Yohanes Tukiran, Kepala Bagian Marketing Grasindo.

Menurut dia, pelanggar ketentuan itu adalah para penerbit yang sengaja membuat toko buku sementara di depan sekolah hanya untuk melayani penjualan buku pelajaran saat tahun ajaran dimulai.

"Meski demikian, perbaikan juga harus dilakukan secara menyeluruh dan tidak hanya dari pihak penerbit. Barangkali penerbit tidak akan berjualan ke sekolah lagi kalau buku-buku pelajaran sudah gratis," ujarnya.

Apabila itu yang terjadi, buku pelajaran tidak lagi semata-mata komoditas, tetapi juga merupakan produk kebudayaan untuk memajukan peradaban bangsa.

* Digunting dari Harian Kompas Edisi Pustakaloka Senin 30 Juli 2007


No comments:

Post a Comment