Monday, June 11, 2007

Perpustakaan: Yang Pudar Janganlah Berdebu

Alkisah, ada seorang kawan yang pernah menelusuri sejumlah perpustakaan daerah di beberapa kota di Jawa. Kawan itu bernama Muhidin M Dahlan, seorang penulis muda penuh semangat dari Yogyakarta . Dengan lapang dan murah hati, ia berbagi pengalaman kepada Jurnal Nasional.

Juni 2006, ia berkunjung ke Perpustakaan Kediri, bangunan intelektual milik kota tua yang eksotik, yang Muhidin sebut sebagai kota dengan catatan pengalaman setebal Gunung Kelud. Namun, perpustakaan bercat putih kusam berlantai 3 itu tak punya nomor telepon mandiri—masih nebeng di kantor pemerintah kota . Tampaknya perpustakaan ini hanya dianggap sepele dalam sebuah kota legendaris seperti Kediri .

Sama halnya dengan Perpustakaan Daerah di Mojokerto— kota besar di zaman Majapahit yang hanya miliki satu buku tentang Majapahit (terjemahan Nagarakertagama). Kehadirannya adalah sebuah ironi sambil lalu, dan mendapatkan penghormatan literasi dari sini hanyalah angan-angan yang dipaksa pudar.

Nasib lebih baik dialami oleh Perpustakaan Malang. Buku-buku dan 1000-an pembaca setiap hari berlindung kokoh di dalam bangunannya yang berwibawa, meskipun berhadapan dengan 4 moncong tank di muka Museum Brawijaya, di perempatan Ijen. Barangkali dana 500 juta per tahun membuatnya jadi salah satu rumah pustaka paling berkilau di Indonesia .

Perpustakaan Malang sudah dilengkapi internet. Mereka juga miliki koleksi kitab klasik tentang Malang seperti Malangsche Landbouw Tentoonstelling 1898, Stadsgemeente Malang 1914-1913, Malang: Debergstad van Oost-Java, Malang Beeld van een Stad (A van Schaik). Selain ruang santai dengan televisi dan pelbagai koran, pengelola juga menyediakan ruang pameran lukis bernama Anjungan Arok. Ruang perpustakaan anak-anak pun dibedakan dengan kategori umum. Deretan bukunya lumayan lengkap dengan tata pencarian dan peminjaman yang canggih bersistem komputasi.

Kita beralih ke Yogyakarta . Ada beberapa perpustakaan umum di Yogyakarta . Perpustakaan DIY hanya bisa dianggap nyaman untuk kegiatan pinjam-meminjam karena berada di lingkungan niaga yang riuh-rendah di Jalan Malioboro. Mereka memang sedang melakukan renovasi untuk mempercantik gedung, tetapi orang terpelajar di Yogya tahu bahwa Perpustakaan St Ignatius (yang dikelola Gereja Katholik) akan lebih memikat karena koleksi yang komplit, pelayanannya yang memuaskan, manajemennya yang mandiri, dan karyawannya yang sangat profesional.
Perpusda Yogya juga terbukti kalah dengan lembaga-lembaga sejenis yang dikelola para akademisi—entah universitas atau sekolah. Meski demikian, nasib paling naas diderita oleh Perpustakaan Hatta. Bukan karena tsunami atau gempa bumi, tetapi karena tiada dana membuat heritage pengetahuan Proklamator RI itu tutup. Sekarang, Perpustakaan Hatta diakuisisi UGM, terhitung sejak 26 April 2007.

Semua intelektual akan prihatin melihat kondisi perpustakaan yang semacam ini. Namun, faktanya memang demikian. Terhitung secara nasional, dari sekitar 440 perpustakaan hanya separuhnya punya infrastruktur dan organisasi yang baik, tanpa menyebut koleksi bukunya yang masih minim. Minat baca dan intensitas kunjungan masyarakat ke perpustakaan pun cenderung menurun karena desakan budaya instan dan perkembangan pesat dari kecanggihan teknologi informasi.

Untunglah pemerintah melihat kesulitan mereka. Tahun ini, pemerintah menjanjikan kucuran dana Rp14,9 miliar dari APBN, 50 unit mobil perpustakaan keliling, plus bantuan sebesar Rp75 juta per tahun untuk 100 “perpustakaan miskin”, sehingga lembaga pemasok nutrisi otak itu bisa berkembang dan maju dalam kegiatannya. Dalam “Gerakan Pemberdayaan Perpustakaan” yang dicanangkan oleh Perpustakaan Nasional pada17 Mei 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga memberikan dukungan penuh terhadap pengembangan perpustakaan dengan mengatakan bahwa perpustakaan memberi peran penting dalam mewujudkan “masyarakat yang maju (advanced society), yang menguasai ilmu pengetahuan, informasi, termasuk teknologi—knowledge based and information society.”

RUU tentang Perpustakaan, yang belum pernah ada di Indonesia, tengah dibahas. Ketika tulisan ini diturunkan, Kepala Perpustakaan Nasional Dady T Rachmananta bersama jajaran berwenang lainnya sedang menyempurnakan payung hukum tersebut, supaya kelak setiap daerah mampu mengadakan, mengelola, dan mengembangkan perpustakaan sendiri. Lagi pula, DPR sudah menyatakan bersedia untuk mengesahkannya.

Perpusnas sendiri sedang menggalakkan sistem jaringan antarperpustakaan demi meningkatkan pelayanan publik, terutama dengan perpustakaan-perpustakaan yang dipayungi departemen lain (seperti perpustakaan sekolah dan universitas yang bernaung di bawah Depdiknas). Dalam satu hal, Perpusnas juga sekaligus menyikapi tantangan zaman hi-tech dengan program digitalisasi informasi (dengan revolusi medium: bukan buku semata, tetapi juga cakram optik atau mikrofilm) dan keterbukaan akses (misalnya dengan pertukaran buku dan pemajangan buku di internet). “Sedangkan untuk meningkatkan minat baca dan sosialisasi budaya baca ke masyarakat, Perpustakaan Nasional memberi contoh dengan cara memakai jasa Duta Baca Indonesia (yaitu selebritas Tantowi Yahya),” tutur Agus Sutoyo, Kepala Sub-Bagian Humas Perpusnas, ketika ditemui Jurnal Nasional, Rabu (6/6).

Pendidikan kita mungkin lebih berfungsi sebagai pabrik ijasah. Pendidikan kita mungkin pula gagal merangsang tumbuhnya kegemaran membaca dan belajar pada anak didik. Namun perpustakaan tetap tidak boleh gagal menjalankan tugas untuk mencerdaskan kehidupan bangsanya.

Dani Wicaksono/Jurnal Nasional, Jumat 9 Juni 2007

No comments:

Post a Comment