Wednesday, March 12, 2008

”Buku yang Hidup” untuk Sukamdani Sahid

Siap Bekal Akhirat, Dirikan Pesantren Sahid Gunung Menyan
Usia Sukamdani Sahid Gitosardjono, pendiri sekaligus pemilik jaringan Hotel Sahid Group di Indonesia, genap 80 tahun pada 14 Maret mendatang.

Sebuah buku yang merekam sejarah, kiprah, dan falsafah hidupnya kemarin dibedah di Jakarta. Seperti apa isi buku itu?



Di tengah kepungan sejumlah hotel berbintang yang kian banyak tumbuh di Jakarta, Hotel Sahid termasuk yang masih mampu bertahan dan bersaing. Bangunannya hingga kini berdiri kukuh di Jalan Panglima Sudirman, Jakarta Pusat, meski sudah berumur puluhan tahun (dibangun pada 1974).

Kemarin (11/3) di hotel itu dibedah sebuah buku yang berisi perjalanan hidup pendiri dan pemiliknya, Sukamdani Sahid Gitosardjono.

Buku 202 halaman itu merupakan persembahan dari rektor dan segenap civitas akademika Universitas Sahid (Usahid) sebagai kado ulang tahun untuk Sukamdani.

Acara bedah buku yang dihelat di Ruang Pertemuan Puri Agung Hotel Sahid Jaya di lantai II itu dihadiri ratusan undangan, termasuk Menko Kesra Aburizal Bakrie dan Menkominfo Muhammad Nuh. Dua menteri itu duduk di deretan paling depan, berdekatan dengan Sukamdani, yang pagi itu ditemani istrinya, Ny Juliah.

Meski usianya menginjak 80 tahun, Pak Kam -panggilan akrab Sukamdani Gitosardjono- masih terlihat bugar. Ketika memberikan sambutan, dengan setelan jas abu-abu bergaris putih vertikal, pria kelahiran Jetis, Sukoharjo, Jawa Tengah, itu cukup tegak berjalan, tanpa harus ditopang tongkat. Suaranya juga masih sangat jelas.

Rektor UIN Syarif Hidayatullah Komaruddin Hidayat, salah seorang pengulas buku Sukamdani, mengomentarinya sebagai the living book (buku yang hidup). Menurut dia, kisah hidup mantan ketua umum Kadin (1982-1987) itu layak dijadikan panutan. Terutama tentang falsafah hidupnya, yaitu urip iku nguripi (hidup itu adalah menghidupi). "Dalam kehidupan, tidak ada nuansa merebut, merusak, dan mengeksploitasi sampai habis," ujarnya, berusaha mengartikan.

Selain itu, lanjut dia, ada tujuh pilar kebahagiaan yang menjadi pegangan Pak Kam dan ditulis dalam buku itu. Tujuh pilar itu keteraturan dalam kehidupan, uang, pekerjaan, sahabat, kesehatan, kepribadian, dan kebebasan pribadi. "Percuma punya uang kalau tidak punya pekerjaan, sahabat, dan kesehatan. Percuma juga punya segalanya, tapi kepribadian jelek. Itulah yang bisa dipelajari dari buku Pak Kamdani," tutur Komaruddin.

Menkominfo Muhammad Nuh yang juga menjadi pembicara dalam bedah buku itu menyebut Pak Kam sebagai model hidup. "Orang dihormati karena ilmu, kepribadian, dan cita-citanya. Beliau pantas menjadi contoh bagi generasi muda," puji mantan rektor ITS (Institut Teknologi Sepuluh Nopember) itu. Generasi kedua, lanjut dia, layak mencontohnya karena tak pernah lelah menuntut ilmu, mau mentransferkannya kepada generasi kedua, dan cita-citanya membangun bangsa yang tak kenal putus asa.

Setelah acara bedah buku, Pak Kam langsung dikerubuti puluhan undangan yang membawa buku dan meminta tanda tangannya. Wajahnya terlihat sumringah. Sebelum membubuhkan tanda tangan, dengan ramah bapak lima anak itu menanyai nama satu per satu. "Namanya siapa Bu biar saya tulis di atas tanda tangan saya ya?" tanya dia kepada seorang dosen pascasarjana di Usahid.

Saking asyiknya memberikan tanda tangan dan ngobrol dengan wartawan serta undangan, Pak Kam sampai tak menghiraukan ajakan panitia untuk berfoto bersama.

Ketika ditanya, mengapa harus ada buku berjudul 80 Tahun Sukamdani Sahid Gitosardjono: Mempertautkan Bisnis dan Pendidikan? "Ini demi mempertahankan tali silaturahmi," kata perintis hubungan dagang langsung dengan Tiongkok tersebut.

Apa yang membuat Pak Kam mampu meraih kesuksesan sebagai pengusaha hotel sekaligus pemilik beberapa lembaga pendidikan? "Yang penting selalu ingat, percaya, dan patuh," ujarnya dengan mimik serius. Lebih lanjut, dia meminta generasi muda selalu ingat pesan orang tua. Sejak kecil, Sukamdani dididik tentang nilai-nilai luhur Jawa. Dia belajar banyak pitutur (nasihat), pitedah (petunjuk), dan wulang warah (pendidikan) dari orang tuanya.

Selain itu, patuh dalam melaksanakan ajaran-ajaran Tuhan dan patuh untuk menghindari larangan-larangan-Nya, menurut dia, merupakan kunci sukses yang lain. Dengan kepatuhan tersebut, selama hidup dia tidak pernah pesimistis dan selalu menjalani dengan optimistis setiap ada kesulitan. "Saya yakin semua kesulitan akan bisa diatasi berkat bantuan dan kemudahan Allah SWT," yakinnya.

Dia lantas menceritakan tentang jatuh bangunnya grup Sahid ketika diterpa krisis ekonomi pada 1998. Saat itu, tutur dia, berbagai proyek yang dikembangkan Sahid mulai 1993-2000, seperti Proyek Apartemen Istana Sahid, Hotel Sahid Makassar, Hotel Sahid Raya Solo, dan Menara Sahid, terpaksa mengalami penundaan. Untuk meneruskannya, Pak Kam meminjam uang ke Shcroder sebesar USD 40 juta.

"Kami saat itu sempat mengalami kesulitan untuk membayar sehingga terpaksa meminta perpanjangan pembayaran, keringanan pembayaran, tukar saham, dan tukar aset," ceritanya. Meski akhirnya berhasil keluar dari krisis, Pak Kam memilih sikap konservatif dalam berutang. Yakni, selalu mengelola struktur keuangan dengan rasio utang dan aset 30:70.

Kini, setelah sukses mengelola bisnis hotel, properti, dan pendidikan, mantan delegasi RI untuk pemulihan hubungan dagang dengan Tiongkok 1990 tersebut hanya ingin kesejahteraan terpadu. "Saya dan keluarga sekarang sedang berusaha mendirikan yayasan sejahtera terpadu yang bergerak di bidang pendidikan," kata Pak Kam.

Terpadu yang dia maksud adalah kegiatan yang membuatnya bisa bahagia di dunia sekaligus jadi bekal di akhirat. Yayasan kesejahteraan yang dia bangun, salah satunya, terdiri atas pondok pesantren modern Sahid Gunung Menyan. "Insya Allah sebentar lagi akan kami buka sekolah tinggi agama islam terpadu modern Sahid pada 2008 atau 2009," ujarnya dengan nada bangga. Harapannya, sekolah tersebut akan menjadi pusat pendidikan agama internasional di Indonesia.

* Digunting dari Harian Jawa Pos Edisi 12 Maret 2008

No comments:

Post a Comment