Sunday, March 23, 2008

100 ”Tokoh” yang Mewarnai Jakarta

Masih ingat film The Gangs of New York? Dari film itu kita akan disadarkan bahwa kota sebesar dan sepenting New York, Amerika Serikat, awalnya adalah kisah para begundal yang bertarung untuk memperebutkan wilayah kekuasaannya. Kisah para imigran berhadapan dengan orang lokal yang penuh dengan kekerasan dan kebrutalan.

Bagaimana dengan Jakarta? Jakarta yang sudah memasuki usia lima abad juga menyimpan sejumlah kisah tentang orang-orang yang bertarung di dalamnya. Jakarta dihuni tak hanya oleh para elite politik dan ekonomi yang bertarung, tapi terutama lebih banyak dihuni oleh masyarakat kelas menengah bawah, kelas abal-abal, yang tiap hari berjuang untuk bisa hidup. Mereka melakukan hampir apa saja untuk bisa bertahan hidup di kota berlambang monumen berbungkah emas di puncaknya (Monas) ini.

Emas memang menjadi perlambang kesuksesan dan kemakmuran. Namun, barangkali ada banyak orang yang tak pernah meraih sukses seumur hidupnya. Barangkali juga tak banyak orang yang akhirnya bisa menyentuh emas di puncak Monas. Demikian pula halnya jutaan orang penghuni Jakarta.

Buku karikatur terbaru berjudul 100 ”Tokoh” yang Mewarnai Jakarta karya Benny & Mice, yang dikenal dengan seri Lagak Jakarta, mencoba memotret Jakarta dari profesi para penghuninya. Namanya karikatur, pastilah yang masuk di sini adalah orang-orang yang memiliki keunikan dan dengan jeli dipotret serta digambar ulang oleh dua kartunis ini. Hasilnya adalah 100 orang yang mewakili kehidupan ”dunia lain” Jakarta. Di luar kemewahan mal yang terus dibangun dan kisah sukses menggapai emas di Monas, 100 orang yang ditampilkan di dalam buku ini mewakili orang yang terpinggirkan, orang yang masih terus berusaha menggapai emas di Monas.

Namun, yang ditampilkan di sini bukan kecengengan, bukan rintihan untuk minta dikasihani, melainkan potret ”para tokoh” dalam tampilan mereka apa adanya. Realitas kehidupan beragam profesi digambarkan dengan balutan humor sehingga karya yang dihasilkan tidak menghakimi setiap tokoh tersebut. Ibarat kamera, Benny dan Mice meng-close-up (extreme close-up malah) kehidupan para tokoh Jakarta ini. Setiap sosok menjadi tokoh sendiri, yang punya cerita dan berita yang tak kalah dengan para elite politik.

Realitas sosial

Pujian patut diberikan kepada dua kartunis ini yang memotret realitas sosial secara langsung, tanpa harus menggurui atau sok ilmiah menjelaskan mengapa fenomena ini muncul di Jakarta. Mari kita lihat beberapa sosok di dalamnya.

Lihat si penjual baskom di kampung-kampung. Penjual baskom ini memanfaatkan seluruh tubuhnya untuk membawa baskom, termasuk kepala dan tangannya. Kalau kepala dipakai untuk menyangga baskom, itu artinya menutupi pandangan luas si penjual. Lalu tangan kanan dan kiri pun memegang baskom, namun sambil memukul-mukulkan dua baskom, sebagai tanda bahwa ia sedang berjualan. Kita yang mendengarkan baskom dipukul-pukulkan begini tak jarang menjadi sebal dengan kegaduhan tersebut. Tetapi itulah cara si penjual baskom ber-”iklan” di kampung-kampung. Tanpa spanduk atau billboard.

Balik halaman berikut untuk melihat ”penuntun binatang di mal”. Matanya layu, kosong, sementara ia harus memegang anak yang sedang gembira naik mainan binatang di mal. Si penuntun binatang dan pelanggannya berputar-putar selama beberapa waktu setelah membayar tarif tertentu. Gambaran ini kerap kita jumpai di berbagai mal. Sang anak dan ibunya mungkin gembira hati, tapi si penjaga memang menatap dengan wajah kosong. Jangan tanya kenapa, tapi itulah potret yang cukup dikenal.

Banyak sekali wajah Ibu Kota lain yang dipotret di sini: ada penjual CD bajakan, pemuda harapan bangsa yang selalu klimis, cowok metroseksual yang selalu lebih wangi dari para wanita, pria fitness yang selalu berpakaian ketat, penari latar yang terus pasang senyum dengan tangan selalu mengacung ke atas di akhir lagu, ada banci salon yang makin menjamur di mana-mana, ada cewek berjilbab dengan dua versi serta empat jenis cewek lainnya di antaranya cewek mal dan cewek ”pengeretan”, serta berbagai jenis cowok seperti hedonis, ”Harley” man, anak band, dan pria army look.

Sosok yang menyangkut profesi ”jualan”, mulai dari banci Taman Lawang, banci lampu merah, pekerja seks komersial warung remang-remang juga terekam. Di terminal bus kita juga akan menemukan sosok penukar uang receh, pedagang kecil yang tergusur, satuan polisi pamong praja (satpol PP), jambret yang tertangkap, dan profesi lainnya.

Kita akan terpingkal-pingkal saat membayangkan imajinasi dan cara duo kartunis ini memilih sosok yang digambar. Memang tak ada penjelasan ”ilmiah” mengapa mereka memilih 100 tokoh tersebut dan bukan 100 tokoh yang lain. Mungkin juga tak perlu keterangan semacam itu karena bagaimana pun juga 100 orang yang ditampilkan di situ barulah sebagian kecil dari kelas abal-abal yang terpotret oleh Benny dan Mice.

Kita juga akan senang melihat sosok gondrong ala reserse ataupun gondrong dan janggut ala raja dangdut kita, Rhoma Irama. Yang lebih jahil lagi tampak ketika Benny dan Mice menggambar enci-enci gaya, atau Arab Atrium maupun India Pasar Baru. Ini lagi-lagi merupakan petunjuk kejelian keduanya menangkap fakta sosial. Bukan bermaksud rasis ataupun berprasangka atas etnis lain, tapi mari kita terima itu sebagai olok-olok yang masuk dalam kerangka mencoba mengenali kelompok yang berbeda. Inilah fakta-fakta sosial di sekitar kita. Mungkin dengan menertawakan diri, bisa menjadi pintu masuk untuk mengenali ”yang lain” tersebut.

Secara sosiologis atau antropologis tentu saja semua fakta ini bisa dibahas, bisa dikupas dengan sangat ilmiah, tapi bukan itu mau dari kartun tersebut. Ini sekadar potret bahwa para kelas abal-abal ini, kelas masyarakat yang ”mau menggapai tapi tak sampai” Monas berjuang untuk hidup. Ada yang norak banget, ada yang tulus banget, ada yang malu-maluin banget, tapi itulah Jakarta. Tanpa mereka-mereka ini, kota megapolitan yang suka jumpalitan ini tak akan menjadi seru. Misalnya, ibu-ibu pengajian yang sekarang lebih mudah ditenemukan di layar televisi sebagai tamu berbagai acara hiburan di siang hari.


Konflik dan damai


Sosok yang ditampilkan di sini bukannya tanpa konflik. Reserse dan jambret ketangkep mewakili dua kepentingan yang berbeda. Keluarga yang doyan makan dan keluarga yang kurang makan juga mewakili kelas yang berbeda, atau satpol PP dan pedagang yang habis kena gusur adalah kelompok yang nyatanya kerap bentrok. Tapi semua bersatu dalam buku kartun ini. Mereka hidup damai—atau didamaikan oleh duo kartunis ini. Mereka hidup damai, mungkin karena pada akhirnya 100 tokoh ini adalah sosok non-elite dalam masyarakat. Dengan kata lain, sebagian besar dari mereka sebenarnya adalah para korban pertarungan kekuasaan—ekonomi dan politik—yang ada di atasnya.

Yang menarik, semua sosok digambarkan secara fisik plus keterangan-keterangan untuk memperjelas code of conduct dari setiap profesi. Lengkap dengan busananya, plus aksesori yang menyertainya. Pegawai kantoran zaman sekarang itu pasti menggunakan kalung yang berisikan kartu identitas sekaligus kartu tanda hadirnya. Lalu aktivis LSM zaman sekarang juga bisa berpenampilan trendi, dengan tas ransel kecil, rambut pendek, aksesori kalung, memakai baju bermotif etnik, dan membawa agenda serta paper seminar atau diskusi.

Membaca buku ini perlu disertai rasa humor tinggi, dan jangan terlalu sensitif untuk penggambaran yang ”kena” di hati. Misalnya, dalam hal dua jenis wanita berjilbab. Duo kartunis ini menggambarkan wanita berjilbab pertama yang tidak menampilkan lekuk tubuh dan menutupi auratnya. Sangat agamislah. Sedangkan jenis wanita berjilbab yang lain, walau menggunakan penutup kepala, pakaian yang lekat pada dirinya justru sangat menampilkan lekuk tubuhnya. Inilah kenyataan yang ada di Jakarta dan hal itu tak mungkin ditutupi. Tak perlu merasa bersalah karena di Malaysia atau Singapura, dua model macam ini pun juga ada.

Menutup halaman terakhir buku ini, penulis tergoda untuk membuat daftar ”100 tokoh lain yang mewarnai Jakarta”. Tampaknya, itu akan menarik dan mungkin duo kartunis lulusan Jurusan Desain Grafis, Fakultas Seni Rupa, Institut Kesenian Jakarta ini tak akan kehabisan ide untuk mencarinya. Iyalah, di Jakarta ini ada ribuan profesi yang berkeliaran, misalnya jasa penyeberangan mendadak di saat banjir.

Buku ini menghibur dan mengajak kita menertawakan para tokoh yang ada di situ. Omong-omong, apa profesi Anda juga sudah tergambarkan oleh duo kartunis ini? Yang mana? Aktivis politik? Oknum pegawai negeri? Anggota Dewan yang terhormat? Atau seniman enggak jelas? …

Ignatius Haryanto, Lembaga Studi Pers dan Pembangunan

* Digunting dari Harian Kompas Edisi Pustakaloka 24 Maret 2008

No comments:

Post a Comment