Friday, February 29, 2008

Diluncurkan, Kartun Ironi Benny dan Mice

Dua kartunis yang memotret kehidupan Kota Jakarta dengan penuh ironi, satire, aneh, jelimet, dan membuat tawa, Benny Rachmadi dan Muhammad Misrad atau lebih dikenal dengan Benny dan Mice, Kamis (28/2) di Bentara Budaya Jakarta, Jalan Palmerah Selatan, Jakarta, membuat sedikitnya 150 penggemarnya tertawa geli, heboh.

Tidak cukup hanya heboh dengan 35 dari 100 kartun yang dipamerkan. Akan tetapi, Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) yang meluncurkan buku Lagak Jakarta: 100 Tokoh yang Mewarnai Jakarta, juga memformat acara dengan sedikit heboh dan kocak. Ada juga hiburan permainan gitar tunggal yang memukau dari Jubing Kristanto.

Istri Benny, Anna Zuchriana, turut dihadirkan dan diwawancarai. Sedangkan Mice yang masih lajang, bapaknya, Jufri, yang dihadirkan. Jika dalam karya-karyanya Benny dan Mice menertawakan orang lain, mungkin juga Anda, maka kemarin orang-orang terdekat yang menertawakan Benny dan Mice.

Benny dan Mice mengaku, karakter dalam kartunnya itu sebagai dirinya sendiri. Benny yang rambut keriting dan Mice yang berkaca mata. ”Kalau orang lain, takut mereka marah,” tandasnya. Tentang bukunya, tokoh yang dikartunkan bukan tokoh sebagaimana yang dikenal banyak orang, elite, atau publik figur. Namun, orang-orang biasa yang membuat Jakarta hidup dan penuh warna.

Wimar Witoelar yang membuka pameran dan peluncuran buku mengaku sebagai penggemar dan pengagum kartun Benny dan Mice. ”Benny dan Mice luar biasa, bisa membuat orang lain, dari segala golongan, tertawa. Saya lihat tampang Benny dan Mice saja sudah tertawa. Ia bisa mendefinisikan orang,” katanya.

Menurut Wimar, setiap warga DKI Jakarta wajib punya koleksi buku Benny dan Mice, sama pentingnya dengan KTP. ”Hidup jadi lucu dengan olahan Benny dan Mice, dan kalau sudah lucu jadi cair, terserah mau dijadikan apa hidup ini. Rugi rasanya kalau ada karya mereka yang kita tidak punya,” ujarnya.

Dian Sastro Wardoyo yang direncanakan hadir bersama Wimar untuk membuka pameran dan peluncuran buku berhalangan hadir karena sedang berada di Banjarmasin. Akan tetapi, dialog Dian dengan Wimar yang tersambung melalui telepon seluler membuat pengunjung tertawa terpingkal-pingkal.

Direktur Komunikasi Kompas Gramedia Suryopratomo mengatakan, tampilnya kartun Benny dan Mice di Kompas edisi Minggu untuk memberikan sesuatu yang lain kepada pembaca. ”Kartunnya lucu, apalagi mencerminkan apa yang menjadi kegelisahan kita,” ujarnya.

Tantio Adjie, Kepala Program Studi Seni Murni IKJ, mengatakan, sejak mahasiswa Benny dan Mice selalu tampil berdua. ”Teknik drawing-nya bagus, lain dibanding 120 orang teman-temannya. Dari 1989 sampai 1993, tiap hari Benny dan Mice mengisi koran dinding di kampus,” ungkapnya.

* Digunting dari Harian Kompas Edisi 29 Februari 2008



100 Tokoh yang Merusak Imajinasi

Judul Buku : Lagak Jakarta: 100 Tokoh yang Mewarnai Jakarta
Penulis/Kartunis : Benny Rachmadi & Muhammad Misrad
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta
Cetakan : Pertama, Januari 2008
Tebal : 160 Halaman

Mendengar atau membaca judul 100 tokoh, yang terlintas dalam benak kita mungkin ingatan akan buku terkenal 100 Tokoh Paling Berpengaruh Sepanjang Sejarah karya Michael H. Hart, atau 100 Tokoh Abad 20 versi Majalah Times. Atau buku 100 Orang Terkaya di Dunia versi Majalah Forbes, 100 Wanita Terseksi versi Majalah Vogue, dan seterusnya.

Benny Rachmadi dan Muhammad Misrad (biasa dipanggil Mice), dua orang kartunis yang selama ini selalu berkarya bersama, kali ini benar-benar merusak imajinasi kita tentang sosok seorang tokoh. Sosok dalam buku 100 Tokoh yang Mewarnai Jakarta ini, harusnya --menurut pemikiran yang normal-- adalah sosok orang-orang yang aktif berkiprah dan berprestasi di bidangnya serta dikenal luas. Namun, karena duo ini memang ide-idenya jauh dari normal, 100 sosok dalam buku ini adalah para korban dari keaktifan dan kebijakan sosok-sosok yang seharusnya ditokohkan tadi.

Duo kartunis ini memang unik. Goresan gambar kartun mereka benar-benar serupa. Sulit dibedakan mana karya Benny dan mana karya Mice. Jangankan awam, sesama kartunis pun juga kesulitan membedakan karya keduanya, kecuali kalau bertanya langsung ke mereka. Itupun kalau mereka mau mengaku, dan itupun kalau pengakuannya tidak menyesatkan!

Sejak 2003 mereka menjadi pengisi tetap rubrik kartun strip di koran Kompas edisi Minggu. Proses kreatifnya pun dikerjakan bersama. Kadang, dari enam frame cerita, tiga frame dikerjakan Benny dan tiga lainnya oleh Mice. Kadang juga bergantian, Minggu ini Benny, Minggu depannya Mice.

Corak goresan kartun mereka mengingatkan kita akan karya kartunis besar Malaysia Datuk Mohammad Noor Khalid atau yang dikenal dengan nama beken Lat. Kemiripan gaya ini juga diakui keduanya. Saat masih menjadi mahasiswa Fakultas Seni Rupa di Institut Kesenian Jakarta tahun 90-an, salah seorang dosen mereka yang baru pulang dari Malaysia menunjukkan buku kartun Kampung Boy karya Lat. Mereka benar-benar tertarik dan mulai saat itu berkeinginan kuat untuk menjadi kartunis. Kampung Boy adalah salah satu buku kartun terlaris di Asia, telah diterjemahkan ke berbagai bahasa dan diedarkan ke puluhan negara.

Buku 100 Tokoh Yang Mewarnai Jakarta ini merupakan edisi kedelapan dari serial Lagak Jakarta dengan tema sosial yang berbeda. Sejak 1997 Benny dan Mice melahirkan karya Lagak Jakarta dengan tema Trend dan Perilaku yang sukses di pasaran. Kemudian, berturut-turut di tahun itu juga mereka menghasilkan tiga seri Lagak Jakarta dengan masing-masing tema Transportasi, Profesi, dan Rony. Tahun 1998 dua seri lanjutan Lagak Jakarta mereka buat, yaitu Krisis Oh Krisis, dan Reformasi. Kemudian pada 1999 Hura-hura Pemilu.

Mengambil tema 100 Tokoh Yang Mewarnai Jakarta, isi seri kartun ini masih memuat ilustrasi kreatif mengenai kondisi sosial kehidupan masyarakat di kota Jakarta, terutama mengenai tokoh-tokoh atau profesi yang dari dulu mewarnai kota metropolitan ini. Isinya cerdas, menohok, satir, dan kocak.

Lantas, siapa saja 100 tokoh yang menjadikan Jakarta sedemikian hidup dan berwarna? Jangan dibayangkan yang muncul adalah Bang Yos (mantan Gubernur DKI Sutiyoso), Fauzi Bowo (gubernur sekarang), Benyamin S. (aktor kawakan), atau Ali Sadikin (gubernur legendaris). Tokoh-tokoh unik yang dikartunkan dalam buku ini adalah orang-orang biasa yang setiap hari ada di sekitar kita di Jakarta. Misalnya hansip, guru ngaji, korban banjir, tukang ojek, para fans berat Bang Rhoma, ojek payung, nenek-nenek pengajian, sampai banci lampu merah, dan penjual VCD bajakan. Bahkan kucing kampung dan penjual baskom juga mereka anggap layak untuk ditokohkan. Sosok Benny dan Mice sendiri juga tampil sebagai tokoh penderita asam lambung. Kurang ajar!

Penggambaran para tokoh dalam buku ini juga sangat sederhana namun mengena. Misalnya, penggambaran tokoh maling besi (hlm. 15), disebutkan jam beraksi, peralatan, target operasi, lengkap dengan harga besi curian tersebut ketika dijual ke penadah.

Sebagai teman sesama kartunis, ketika saya tanyakan bagaimana proses kreatif penyusunan buku yang konon memakan waktu empat bulan ini, Mice yang berwajah culun-culun mesum itu menjawab bahwa semua yang tergambar dalam buku ini berdasarkan pengamatan dan pengalaman. Pengamatan seorang kartunis tentu saja sangat berbeda dan tidak terduga dibandingkan pengamatan orang-orang pada umumnya.

Penggambaran tokoh lain juga tak kalah lucu. Tokoh pasangan selingkuh (hlm.31), misalnya, digambarkan sosok pria dan wanita dengan selimut sedang kelelahan di ranjang hotel short time. Pakaian mereka yang berserakan (karena sudah nggak tahan dan tergesa-gesa, mungkin curi-curi jam kantor), ponsel si lelaki yang tergeletak di meja sudah diset silent mode (agar tidak ditelepon sang istri), sementara si wanita dengan mata sayu tengah gelagapan menerima telepon dari suaminya, gara-gara dia lupa mematikan HP! Bagi yang gemar selingkuh, yang di kota besar seperti Jakarta jumlahnya bejibun, tentu bakalan tersenyum kecut melihat gambar ini. Mungkin dalam hati mereka bergumam: "Sialan, kok persis banget, ya?"

Memang, goresan kartun dalam buku ini juga bisa menjadi cermin untuk melihat realitas sosial kehidupan dan tingkah laku kita sehari-hari. Para tokoh dalam buku ini benar-benar menggambarkan fakta bahwa dalam kenyataannya bukanlah orang-orang besar dan nama tenar yang membuat Jakarta lebih berwarna. Justru orang-orang biasa yang karena kebiasaannya tersebut malah menjadi luar biasa karena telah membuat Jakarta menjadi tidak biasa.(*)

*) Wahyu Kokkang, kartunis Jawa Pos

** Digunting dari Jawa Pos Edisi 2 Maret 2008

No comments:

Post a Comment