Sunday, September 23, 2007

Potret Buram Industri Buku Pelajaran

Di tengah suasana karut marut industri perbukuan Indonesia, terutama buku pelajaran, Usaha Bersama atau UB berjuang keras untuk tetap bertahan. Sebagai distributor buku pelajaran, saat ini UB harus menghadapi persoalan utama yang juga dikeluhkan banyak toko buku, yaitu bersaing dengan para penerbit untuk menjual buku-buku pelajaran ke sekolah-sekolah. Lahan yang sebelumnya menjadi porsi UB kini diambil alih penerbit.

Bangunan berlantai dua yang terletak di pojok Jalan Petojo Utara VI, Jakarta, itu tidak tampak mencolok seperti sebuah toko buku. Pemandangan di depannya adalah sebuah kali dengan air berwarna hitam. Jalan tempat bangunan ini berdiri pun tidak terlalu lebar, hanya pas dilewati dua mobil. Sebelum melewati pintu kaca untuk masuk ke toko buku, pengunjung harus melalui teras sempit yang di samping kiri dan kanannya dipakai sebagai tempat parkir lima buah motor. Satu-satunya petunjuk adalah sebuah papan bertuliskan TB USBER dengan huruf besar-besar dan dicat warna-warni.

Bangunan yang tidak terlalu besar ini menjadi saksi bisu masa kejayaan usaha distributor buku pelajaran milik Juliani yang memulai bisnisnya sejak 30 April 1970.

Di masa lalu, Juliani bisa mendistribusikan buku-buku pelajaran ke sekitar 350 sekolah di wilayah Jakarta dan Tangerang. Ia juga bisa mempekerjakan puluhan pegawai, terutama saat-saat menjelang tahun ajaran baru, sekitar bulan Mei hingga Agustus. Dari keuntungan usahanya itu pula, Juliani, perempuan kelahiran Jakarta 9 Juli 1938, berhasil membeli dua gudang di daerah Jelambar dan Petojo Selatan, tempat ia menyimpan buku-buku pelajaran yang akan didistribusikan ke sekolah-sekolah.

Kini, bisnis distributor buku pelajaran beralih menjadi toko buku yang, selain masih menyuplai buku pelajaran ke beberapa sekolah, juga menjual buku-buku umum dan alat tulis secara eceran di tempat yang sama.

Juliani kini bermitra dengan anak lelakinya membuka Toko Buku USBER di tempat yang sama. Perubahan itu sekaligus menjadi penanda berakhirnya masa-masa manis hubungan antara penerbit-distributor/toko buku-konsumen.

Usaha Bersama menjadi saksi perubahan yang terjadi di dalam industri buku pelajaran. Perubahan itu terutama dalam hal pengambilalihan peran toko dan distributor buku oleh para penerbit. Dalam bahasa yang lebih lugas, "Sekarang ini, para penerbit cenderung ingin memonopoli industri buku pelajaran. Mereka ingin menjadi penerbit sekaligus penjual, alias menguasai buku dari hulu ke hilir," ungkap Juliani dengan nada getir.

Ratusan sekolah

Toko Buku Usaha Bersama yang sekarang dimiliki Juliani bersama anaknya dulunya adalah distributor buku-buku pelajaran. Seluk beluk bisnis ini mulai dipelajari Juliani saat ia menjadi kepala sekolah di Yayasan Pendidikan dan Pengajaran (YPP) pada akhir tahun 1950-an, sebuah sekolah swasta yang sebelumnya bernama Pa Hwa. Ketika itu, sekolah YPP sering memesan buku pelajaran ke Toko Buku Bandung di jalan Alkateri, Bandung. Karena pemilik Toko Buku Bandung adalah kerabatnya sendiri, ia bisa sedikit demi sedikit mengetahui bagaimana bisnis buku itu dijalankan.

Sebagai kepala sekolah, akses bertemu dengan pemimpin sekolah dari lembaga lain sangat besar. Ia sering kali harus menghadiri rapat bersama sekolah-sekolah lain. Dari berbagai pertemuan itulah terjalin hubungan baik sekaligus membuka peluang besar untuk memasukkan buku-buku pelajaran.

"Kerabat di Bandung lalu mengusulkan agar saya membuka usaha sendiri, menyuplai buku pelajaran ke sekolah-sekolah. Dari situlah Usaha Bersama berawal," papar ibu dari empat anak yang sudah dewasa.

Ketekunan membina hubungan dan keuletan mencari relasi baru membuatnya berhasil menjalin bisnis dengan banyak penerbit serta menjadikan kawan-kawan sesama kepala sekolah sebagai konsumen buku-buku pelajaran yang dijualnya. Di masa awal itu, ia mengantarkan sendiri buku-buku yang dipesan dengan mengendarai motor, bahkan ke pelosok Jakarta sekalipun. "Satu pesanan buku pun saya antar sendiri ke sekolah. Barangkali ini perbedaan yang ada antara Usaha Bersama dengan distributor buku lainnya," urainya. Semua sekolah, mulai dari sekolah negeri hingga sekolah swasta, ataupun semua level pendidikan, mulai dari taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas, dilayaninya dengan baik.

Alhasil, ia bisa merengkuh ratusan sekolah sebagai pelanggan. Usahanya pun berkembang pesat. Kurang dari sepuluh tahun, ia tidak lagi menitipkan buku-buku pelajaran ke rumah-rumah kerabatnya yang lebih besar. Ia sudah bisa membeli sebuah gudang di daerah Jelambar. Armada pengangkut buku-bukunya pun tidak hanya motor, tetapi bertambah dengan beberapa mobil boks. Karyawan yang semula hanya seorang, yang merangkap sebagai pembantu rumah tangga, meningkat menjadi 10 orang. "Dulu, kalau pas buku-buku pesanan datang, penerbit itu bisa kirim truk kontainer ke sini atau ke Jelambar," jelasnya.

Tidak mengherankan kalau Usaha Bersama tumbuh pesat. Dari menjual buku pelajaran, UB mendapat rabat 35 persen dari penerbit. Ia lalu membawa buku-buku tersebut ke sekolah-sekolah sambil memberi diskon 25 persen. "Dulu ada aturan dari penerbit untuk memberi diskon ke sekolah tidak lebih dari 25 persen," katanya lagi. Maka, tidak kurang dari sepuluh persen keuntungan bisa dikantonginya untuk setiap buku pelajaran. Padahal, nilai pesanan buku ke tiap penerbit bisa mencapai ratusan juta hingga miliaran rupiah.

Sebagian besar penerbit buku pelajaran adalah mitranya. Sebut saja penerbit Erlangga, Yudistira, Grasindo, Ganesha, Sarana Panca Karya, Tiga Serangkai, dan masih banyak lagi. "Saya hidup dari penerbit dan sekolah. Mereka adalah bos saya. Modal saya adalah kepercayaan," tuturnya panjang lebar. Oleh karena itu, ia selalu berusaha membayar tepat waktu kepada penerbit. Meskipun pihak sekolah baru membayar sebagian, ia selalu berusaha membayar semua buku-buku yang sudah diambilnya dari penerbit.

Penerbit masuk sekolah

Masa-masa bulan madu bersama penerbit agaknya tidak abadi. Ia mengingat, sejak sekitar 10 tahun lalu keadaan berubah sama sekali. Secara perlahan, satu per satu penerbit mulai merambah masuk ke sekolah-sekolah. Mereka menjual sendiri buku-buku terbitannya. Menurut Juliani, ini terjadi karena tiap penerbit ingin agar buku-buku terbitannya saja yang dipakai oleh sebuah sekolah. Akibatnya, para penerbit berlomba-lomba datang ke sekolah, menawarkan buku sekaligus menjualnya. Perubahan itu membawa dampak cukup serius kepada bisnis yang telah dibangunnya selama lebih dari 20 tahun.

Satu per satu sekolah yang semula menjadi langganan tetapnya tidak lagi mengambil buku darinya. "Bagaimana mereka (sekolah-sekolah itu) tidak tergiur oleh tawaran penerbit? Selain memberikan diskon rata-rata 35 persen, penerbit juga menghadiahi sekolah atau guru berbagai jenis barang, seperti kulkas, televisi, AC," ujarnya dengan nada tinggi.

Dengan memberikan rabat 35 persen kepada sekolah, sama artinya dengan menutup periuk nasi UB. "Dari penerbit saya diberi diskon 35 persen, padahal mereka kasih juga rabat 35 persen ke sekolah. Lalu saya harus kasih berapa ke sekolah-sekolah itu? Tentu saja saya tidak bisa melawan bos saya sendiri kan?" ujarnya lagi. Lebih jauh, beberapa penerbit tidak lagi memberikan buku-buku pelajaran yang dimintanya. "Kalau saya telepon, mereka bilang bukunya ada. Namun, pada tanggalnya, tidak dikirim-kirim dengan alasan stok habis," tambahnya lagi.

Dampak serius perubahan itu kelihatan jelas saat ini. Hanya selang waktu kurang dari 10 tahun, jumlah sekolah yang mengambil buku dari UB hanya tersisa 60 saja. "Mereka adalah sekolah-sekolah yang menganggap saya bukan sekadar pedagang, tetapi lebih dari itu, sebagai teman, seperti sekolah Kemurnian dan Gandhi School di Pasar Baru, Kemayoran, ataupun Sunter. Mereka telah berhubungan lama dengan saya. Ada kepala sekolah yang memarahi gurunya karena si guru memilih ambil dari penerbit dengan segala hadiah tambahannya," ceritanya.

Sekarang UB tidak lagi menyuplai buku pelajaran ke sekolah negeri atau sekolah-sekolah yang berafiliasi dengan agama tertentu. Di beberapa sekolah nasional plus, UB hanya mengirim buku pelajaran Bahasa Indonesia.

Berkurangnya pelanggan mengakibatkan Juliani harus mengurangi ongkos-ongkos. Pegawai tetapnya kini hanya delapan orang termasuk sopir. Tenaga kerjanya bisa bertambah kalau pesanan cukup banyak, terutama menjelang tahun ajaran baru. Gudang di Jelambar pun sudah lama kosong, tidak berfungsi lagi. Hanya di Petojo Selatan dan Utara yang dipakai.

Beberapa penerbit, menurutnya, masih berbaik hati kepadanya. Ketika ia mengajukan keluhan tentang perubahan situasi ini, pemilik penerbitan itu memberi "ganti rugi" sebesar 2,5 persen dari omzet. "Penerbit itu mau kasih 2,5 persen karena saya telah membina relasi sejak ayahnya yang pegang. Sekarang ini anaknya yang memimpin, maka sistemnya pun berubah," ucapnya sambil menyebut nama sebuah penerbit.

Namun, kebaikan hati penerbit itu tidak bisa mengubah kondisi bisnis buku pelajaran yang telah telanjur kacau balau. Menurutnya, bahkan ada penerbit yang sampai membuka toko buku sementara di depan sekolah menjelang tahun ajaran baru. Kondisi yang riil adalah terjadi perang diskon di antara para penerbit. UB yang berada di tengah-tengah antara produsen dan konsumen menjadi terjepit. Toko buku ataupun distributor buku sendiri tidak bersatu mengambil langkah bersama. Sebaliknya, ada toko buku yang mendiamkan praktik penerbit karena khawatir tidak diberi buku. Akibatnya, kekhawatiran mereka justru menjadi kenyataan, penerbit mengulur-ulur waktu mengirim buku.

Menghadapi situasi ini, Juliani mengaku pasrah. "Saya sudah capek. Mungkin sebentar lagi akan pensiun. Sekarang ini saya masih bertahan karena kasihan sama pegawai-pegawai. Kalau usaha ditutup, bagaimana mereka kasih makan keluarganya? Mana sekarang harga-harga naik terus," keluhnya. Selain bertahan untuk para pegawai setianya, Juliani masih ingin membimbing anaknya yang baru memulai bisnis toko buku. Bermodal nama besarnya, anaknya cukup mudah menjalin hubungan dengan beberapa penerbit buku umum yang sekarang mengisi outlet Toko Buku UB.

Namun, ia tetap melihat tantangan ke depan bagi anaknya atau siapa pun yang ingin mengikuti jejaknya sangat berat. "Di sini, tak ada aturan yang tegas dijalankan sehingga watak serakah itu tak bisa direm," ucapnya.

* Digunting dari Harian Kompas Edisi 24 September 2007


1 comment:

  1. setuju, sekolah dan guru serakah ingin untung besar

    ReplyDelete