Saturday, September 15, 2007

Artikel "Daur Ulang" di Harian Kompas

Saya terkejut ketika membaca artikel saudara Abd Rohim Ghazali, anggota Dewan Penasihat The Indonesia Institute, dan Direktur Eksekutif The Indonesian Research Institute (TIRI), yang berjudul "Puasa untuk Semua" pada rubrik Opini, halaman 6, Kompas edisi Rabu, 12 September 2007.

Setelah saya cermati, ternyata artikel tersebut pernah dimuat dalam buku Pluralitas Agama: Kerukunan dalam Keragaman yang dieditori Nur Achmad. Pada buku yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas, edisi I, Agustus 2001, Abd Rohim Ghazali yang kala itu menyebutkan diri sebagai aktivis muda Muhammadiyah, memakai judul "Hikmah Puasa: Perspektif Kerukunan Antarumat Beragama". Artikel "Puasa untuk Semua" yang berjumlah 16 paragraf ini merupakan hasil comotan dari tulisan di buku itu.

Pada artikel "Puasa untuk Semua" awalnya saya terkecoh dengan kutipan ayat Al Quran yang diurai sepanjang empat paragraf. Saya pikir, ini tulisan terbaru Saudara Abd Rohim Ghazali tentang puasa.

Namun, saat memasuki paragraf kelima, saya teringat dengan tulisan di buku Pluralitas Agama: Kerukunan dalam Keragaman yang baru saya baca beberapa menit sebelumnya. Maklum, itu buku kesayangan yang sudah berulang kali saya baca.

Ternyata, mulai paragraf lima sampai dengan akhir tulisan (paragraf ke-16), 99 persen disalin dari tulisan pada buku tersebut. Coba Anda lihat halaman 215 baris ke-21 sampai terakhir di halaman 218 artikel dalam buku tersebut. Semua kata dan susunan kalimatnya sama. Yang sedikit membedakan (1 persen) adalah dalam hal penggunaan kata penghubung dan tanda baca.

Meski menyalin tulisan sendiri, tindakan seperti ini sangatlah tidak pantas. Apalagi dilakukan oleh seorang yang memiliki posisi terhormat dan sudah dianggap sebagai seorang intelektual. Awalnya saya menaruh hormat dan sangat simpatik dengan tulisan Abd Rohim Ghazali di buku itu. Namun, setelah membaca artikel "Puasa untuk Semua" kekaguman saya luntur. Ternyata, Abd Rohim Ghazali bukan intelektual yang mencerahkan dan kreatif. Saya sangat menyayangkan hal ini.

Buku Pluralitas Agama: Kerukunan dalam Keragaman merupakan kumpulan tulisan-tulisan pilihan yang pernah dimuat Kompas terbitan 1996-2000, termasuk artikel "Hikmah Puasa: Perspektif Kerukunan Antarumat Beragama". Berarti artikel "Puasa untuk Semua" merupakan salinan ketiga setelah terbitnya buku tersebut. Apakah pantas jika tulisan yang pernah dimuat boleh dimuat lagi asal diubah judulnya?

Menyumbangkan gagasan bagi masyarakat harus didasari niat tulus. Apalagi tulisan bernuansa keagamaan. Kita tidak bisa mengajak orang lain untuk berlaku jujur kalau pribadi kita masih melakukan kecurangan. Kaum intelektual adalah panutan karena bangsa ini miskin figur pemimpin. Mudah-mudahan ini menjadi perhatian kita semua, Kompas, dan media lainnya.

FRANSISKUS UBA AMA Jalan Waringin Mlaten No 9, Surabaya


Catatan Redaksi: Terima kasih untuk infonya. Setelah kami cek, ternyata memang artikel Abd Rohim Ghazali "Puasa untuk Semua" hanya cut and paste artikel "Hikmah Puasa: Perspektif Kerukunan Antarumat Beragama" oleh penulis yang sama yang termuat di Kompas, 17/12/1999.


Tanggapan Abd Rohim Ghozali Soal Daur Ulang Tulisan

Saya ingin menanggapi surat pembaca Saudara Fransiskus Uba Ama "Kompas Kecolongan Artikel 'Daur Ulang'" (Kompas, 14/9) yang isinya mempersoalkan tulisan saya, "Puasa untuk Semua" (Kompas, 12/9).

Benar bahwa "Puasa untuk Semua" merupakan daur ulang dari "Hikmah Puasa: Perspektif Kerukunan Antarumat Beragama" yang pernah dimuat Kompas (17/12/1999) dan dibukukan dalam Nur Achmad (ed), Pluralitas Agama: Kerukunan dalam Keragaman (Jakarta, Kompas, 2001). Tapi saya tidak melakukan cut and paste (sebagaimana jawaban Kompas) karena saya tidak menjiplak tulisan orang lain.

Saya melakukannya dengan cara "membuang dari yang lama yang tidak perlu, dan menambah yang dianggap perlu untuk yang baru". Mengenai berapa persen tingkat perubahannya, saya rasa tidak penting untuk dikemukakan karena tidak mudah untuk diukur secara tepat.

Selanjutnya saya ingin bertanya kepada pembaca yang budiman, atau siapa pun yang punya otoritas untuk menjawabnya: sejauh manakah kita bisa memperlakukan hasil karya tulis kita sendiri?

Haruskah kita memperlakukan hasil karya kita sendiri seperti kita memperlakukan hasil karya orang lain?

Terus terang saya merasa aneh jika harus menyebutkan sumber, catatan kaki atau semacamnya untuk tulisan sendiri. Rasanya kok seperti "jeruk makan jeruk".

Saya merasa apa yang saya lakukan sah secara hukum. Bahkan saya merasa perlu melakukannya untuk mengingatkan kembali kepada kita semua, bahwa puasa, baik secara doktrinal maupun hikmahnya, tidak eksklusif milik umat Islam. Kalau kita perhatikan, pada momen-momen tertentu, sesuai kebutuhan, tak sedikit suatu karya cipta yang didaur ulang, dan sejauh ini tidak ada yang mempersoalkan.

Abd Rohim Ghazali Jalan Murai I/76A, Sawah Lama Ciputat

Catatan Redaksi: Kami di Kompas amat mengharapkan kejujuran dan integritas penulis. Halaman Opini Kompas disediakan sebagai sarana asah intelektual, bukan untuk para "pengrajin" tulisan.

4 comments:

  1. Perihal 'daur ulang' tulisan.
    Memang lain jika itu dilakukan dalam hal 'daur ulang' sampah. Yang terakhir ini justru diharapkan oleh masyarakat agar sampah bisa bermanfaat.
    Jika daur ulang sampah adalah sebuah kreatifitas, namun 'daur ulang' tulisan sebetapapun baiknya bisa mencerminkan sebaliknya. Kecuali meng 'cut' paragraf tertentu tersebut dilakukan 'sekadar' untuk menegaskan kembali pandangannya karena relevan meski dalam tema tulisan yang sama sekali baru.
    Masalahnya bukan terletak etis atau tak, melainkan kreatifitas yang musti terus menerus dilakukan sebagai seorang penulis.
    Gagasan yang selalu baru itu yang selalu ditunggu dan dirindui para pembaca. Yang kemarin biarkan, yang hari ini cipatakan lagi ...

    ReplyDelete
  2. Benar, makanya Kompas 'geram' juga membahas penjelasan Mas Ghozali. Padahal, Ghozali itu adalah salah satu "penulis piaraan" kompas. Terimakasih atas komentarnya mas mario.

    ReplyDelete
  3. Menurut saya, mendaur ulang tulisan bagus-bagus saja. Kalo soal kreativitas, ya memang sih sebaiknya selalu tampil baru. Tapi, apa sih sesungguhnya yang baru di dunia ini. Jang sok paling kreatif deh. Liat tuh dan simak para seniman, para juru dakwah, bahkan para ilmuan bergelar PhD, kadang-kadang yang disampaikan itu-itu juga. Apakah mereka tidak kreatif. manurut saya gak juga. Itu karena mereka manusia biasa, bukan Tuhan yang serba sempurna. Anda kecewa dengan adanya tulisan daur ulang? Boleh saja, tapi siapa sih yang gak pernah bikin kecewa...

    ReplyDelete
  4. Pelajaran bagi semua penulis. Kreativitas kunci mati!

    ReplyDelete