Nama Gagas Media semakin familier di dunia penerbitan karena novel-novel remajanya yang ringan dan harganya yang terjangkau semua lapisan masyarakat. Namun, apa yang kini diraih oleh Gagas Media bukan keberhasilan berdasarkan keberuntungan semata, tetapi telah direncanakan dalam konsep kerja dan tujuan penerbitan di awal pembentukannya.
Penerbitan ini didirikan pada 4 Juli 2003 oleh Anthonius Riyanto, Rudy Gunawan, Moammar Emka, Hikmat Kurnia, dan Andi Dominicus dengan visi mengangkat dunia buku di Indonesia menjadi sesuatu yang populer dan menjadikan buku diminati oleh banyak orang.
Segmentasi penerbitan Gagas Media lebih diarahkan pada remaja, kelompok usia yang cenderung memiliki stereotipe jauh dari buku. Seperti diungkapkan oleh Hikmat Kurnia bahwa awalnya ide Gagas adalah mengusung pop culture. Maka, diterbitkanlah buku Malam Pertama (2003) kemudian Jakarta Undercover II, Karnaval Malam (2004).
Meski demikian, bagi mereka, menerjemahkan budaya pop tidaklah mudah. Karena itu, akhirnya mereka memutuskan untuk berkonsentrasi pada fiksi remaja. Sebut saja beberapa judul yang pernah menjadi best seller di kalangan remaja seperti Cintapuccino (2004), Lho Kok Putusin Gue (2005), dan Cinta Brontosaurus (2006).
Kejelian membaca pasar dan keberanian menentukan pilihan adalah sebuah konsekuensi mutlak bagi para pendiri Gagas Media. Dengan tidak berpikir muluk-muluk dan penuh filosofi, pendiri Gagas Media mengakui dengan tegas bahwa mereka menginginkan menerbitkan buku yang dapat terjual 10.000 eksemplar.
Menjadi penerbit profesional yang mampu memikirkan peluang pasar dan tren yang sedang berlangsung. Selanjutnya, Hikmat menjelaskan bahwa Gagas Media menyadari penerbitan buku adalah sebuah industri, maka mereka harus benar-benar memperhitungkan pasar dan tentunya penjualan.
Seperti ditegaskan oleh Anthonius Riyanto, "Kita harus menyadari betul pilihan yang diambil. Jika kita ingin menjual buku dengan ide yang berat, maka kita harus siap hanya laku 1.000 eksemplar," tuturnya. Untuk itu, Gagas Media memiliki kriteria novel yang harus diterbitkan supaya dapat terjual cepat dan oplah yang cukup tinggi.
Oleh karena itu, tentu saja harus dipikirkan dengan baik sebuah buku yang tingkat keterbacaannya tinggi dan mudah diserap oleh berbagai kalangan khususnya remaja. Untuk dapat terus mengikuti selera remaja, Gagas Media membangun sebuah komunitas yang disebut groupies sebagai pembaca naskah yang belum diterbitkan.
Kelompok ini kemudian dikelola untuk melihat keinginan remaja akan novel yang mereka butuhkan, bahkan dari groupies inilah mereka melihat sebuah tren baru yang dapat dilakukan Gagas Media.
Kelebihan Gagas Media adalah pada keberanian mencoba inovasi baru pada dunia penerbitan novel remaja. Orang tentunya masih ingat pertama kali film dibuat menjadi buku, yaitu film Coklat Stroberry dan Love is Cinta, juga Lantai 13, yang ternyata laku di pasar. Di sinilah, Gagas Media yang telah memiliki perangkat cukup kuat membuktikan kecepatan kerja mereka sehingga sebuah film yang dibukukan dapat terbit bertepatan dengan diputarnya film di bioskop. Hal ini tentunya sesuatu yang baru dalam dunia industri penerbitan, karena yang ada sebelumnya adalah kebalikannya, yaitu pembuatan film yang diangkat dari sebuah buku.
Kini, Gagas Media mencoba sebuah terobosan baru yang mereka sebut songlit, yaitu menovelkan sebuah lagu yang sangat familier di kalangan remaja. Yaitu membuat sebuah cerita fiksi yang idenya diangkat sama persis dengan sebuah lagu. Sekarang Gagas Media telah menerbitkan beberapa novel seperti Lelaki Buaya Darat, lagu yang dipopulerkan oleh Ratu, dan Ruang Rindu yang dinyanyikan oleh Letto.
Ide ini juga terbilang baru jika dibandingkan dengan kelaziman yang sudah ada. Menggabungkan antara lagu dan buku, baru dicoba oleh beberapa penulis, seperti Dee, Henny Purnamasari yang membuat lagu atau soundtrack dari novel mereka.
Secara umum, penjualan novel remaja Gagas Media terbilang cukup laris, karena hampir dua tahun terakhir novel-novel remaja penerbit itu malang melintang dalam rubrik Buku Laris Pustakaloka. Penerbit ini juga menyadari bahwa novel Gagas Media cepat meledak di pasar, tetapi juga cepat hilangnya. Oleh karena itu, tim redaksi terus bekerja secara cepat untuk menampilkan judul-judul baru untuk diterbitkan.
Maka kejelian membaca kebutuhan pasar adalah utama bagi mereka, salah satu kegiatan itu adalah dengan mengikuti perkembangan di luar dengan talenta individual pendirinya. Uniknya, setiap pimpinan di Gagas Media tidak memiliki ruang kerja khusus, hal ini dimaksudkan agar mereka lebih sering keluar melihat perkembangan dan tentunya bergaul dengan kalangan penulis dan pasar.
Di balik kesuksesan mereka saat ini ternyata ada kekuatan tim yang saling mendukung dan saling percaya. Gagas Media lahir dari ide lima orang yang masing-masing memiliki kemampuan tersendiri dan saling melengkapi. Mulai dari Anthonius Riyanto yang sangat menguasai pasar dengan pengalamannya "berjualan" (pemasaran) di Group Bina Swadaya selama 21 tahun; kemudian Hikmat Kurnia dengan ide-ide segar dalam perbukuan dan pernah menjadi direktur pada penerbit Penebar Swadaya.
Tim juga diperkuat oleh keberadaan Windy yang menguasai napas remaja dan Moammar Emka yang memiliki intuisi penulisan yang tajam. Sebelumnya, tim Gagas Media juga diperkuat oleh Rudi Gunawan yang kini sudah melepaskan jabatan direktur di Gagas Media.
Melebarkan sayap
Situasi booming penerbitan buku bukanlah rintangan bagi pioner Gagas Media untuk melebarkan sayap penerbitan mereka. Menurut Hikmat, yang terpenting adalah melihat kebutuhan masyarakat. Maka, dibuatlah Agromedia Group yang menaungi beberapa jenis penerbitan, seperti Wahyu Media untuk buku anak-anak, Visi Media untuk buku Kristen, kemudian Kawan Pustaka, Transmedia Pustaka, dan Qultum Media.
Hikmat percaya bahwa orang Indonesia suka membaca hanya tergantung pada jenis bacaan itu sendiri, yang pasti adalah sesuai dengan kebutuhan masyarakat banyak. Misalnya untuk buku tentang anggrek, Hikmat mencontohkan, jika menerbitkan buku "taksonomi anggrek", maka penjualannya tidak akan lebih dari angka 1.000.
Akan tetapi, jika menerbitkan buku Membuat Anggrek Cepat Berbunga, maka akan terjual 10.000 kopi. "Kita Lihat kebutuhan pasar sajalah. Kalau menerbitkan taksonomi anggrek paling yang baca cuma peneliti atau akademisi di bidang pertanian," ujar Hikmat.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika buku-buku yang diterbitkan oleh AgroMedia Group termasuk Gagas Media adalah buku-buku yang cukup ringan untuk dinikmati. Namun, bukan berarti Gagas Media tidak memiliki visi atau idealisme dalam menerbitkan buku, karena faktanya buku mereka laris.
Seperti para remaja ataupun selebritis yang awalnya tidak dekat dengan buku, kini senang membaca bahkan belajar menulis. "Selebritis yang tadinya tidak suka baca buku sekarang jadi suka baca buku, bahkan menulis buku," ujar Moammar Emka.
Para "Groupies" Itu...
Menyadari target pemasaran buku-buku terbitan Gagas Media adalah remaja, maka penerbit itu pun membuat sebuah kelompok pembaca naskah (groupies) yang masuk ke penerbit tersebut. Hal itu dilakukan mengingat pentingnya mengetahui selera calon pembaca yang dibidik oleh Gagas Media. Usia kelompok tersebut 15 tahun hingga 27 tahun. Biasanya, mereka bertemu seminggu sekali, kemudian mendiskusikan isi buku. Dari diskusi itu penerbit akan tahu selera pembaca dan dapat memprediksi apakah naskah itu akan laku atau tidak.
Sarana ini sangat efektif, karena tak hanya untuk mencoba munculnya naskah baru, tetapi juga untuk promosi tidak langsung. Menurut Windy Ariestanty, salah seorang staf Redaksi Gagas Media, groupies tersebut ternyata membawa banyak manfaat bagi penerbit. Remaja itu ternyata sangat senang dengan kerja mereka sebagai kelompok pembaca naskah Gagas, bahkan mereka membuat webblog sendiri dan membincangkan tentang semua naskah yang mereka pernah baca. Dari kelompok itu juga lahir seorang penulis.
"Dari awalnya cuma baca naskah, sekarang bisa menulis novel sendiri," ujar Windy. Sementara, Hikmat Kurnia, salah seorang pemilik Gagas Media, mengungkapkan, "Kami sadar betul bahwa target pasar kami adalah remaja, maka kami tentu saja menyerahkan selera novel kami kepada calon pembaca kami yaitu remaja."
Oleh karena itu, keberadaan groupies bagi Gagas Media adalah mutlak perlu untuk mengetahui penilaian calon pembaca novel mereka. Berangkat dari kelompok pembaca Gagas Media, ternyata jalinan kerja sama kemudian berlanjut dengan pelatihan menulis di sekolah-sekolah. Gagas Media juga memiliki misi bahwa menulis adalah kegiatan menyenangkan dan menghasilkan uang.
"Moto kami adalah fun to write and read," ujar Windy. Uniknya, remaja itu sendiri yang meminta dilakukan pelatihan menulis di sekolah yang didukung oleh guru. Maka, kegiatan pelatihan menulis di sekolah menengah umum kini menjadi salah satu ajang promosi baru bagi Gagas Media. "Minimal mereka kenal dan mempromosikan Gagas kepada teman-teman mereka," ujar Windy.
* Digunting dari Harian Kompas Rubrik Pustakaloka Edisi Senin, 6 Agustus 2007
Friday, August 17, 2007
Penerbit Gagas Media
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
:: Awal :: Kliping :: Esai :: Resensi :: Tips :: Tokoh :: Perpustakaan :: Penerbit :: Suplemen Khusus :: Buku Baru :: Undang-Undang ::
saya ingin bertanya
ReplyDeletekalo cerita nya setebal 230 halaman bisa gak?
karna kalau dikurangi lagi maka ceritanya gak akan nyambung
saya berharap banget semoga saja bisa, saya pengen anda membaca dulu novel saya meskipun persyaratan ketebalan bukunya melewati batas
saya tunggu balasan secepatnya
berapa minimal dan maksimal buku penerbit gagas media
ReplyDeletekalau mau kirim naskan apa aja si prosedurnya???
ReplyDeleteapa saja persyaratan untuk mengirim naskah novel?
ReplyDeleteliat aja persyaratannya di gagasmedia.net kalau nggak salah untuk novel itu 70-150 halaman 1 spasi times new roman kalau gagas media.
ReplyDelete