Monday, July 2, 2007

Orang Gaul Baca Buku di Taman Bacaan Rieke

Orang tidak baca buku berarti bukan orang gaul! Jargon ini yang terus didengungkan artis Rieke Diah Pitaloka bersama teman-temannya yang menggalakkan budaya membaca. "Orang gaul itu adalah orang yang baca buku. Provokasi ini akan terus didorong kepada anak-anak muda supaya mereka mau membaca buku," kata Rieke dalam seminar yang digelar di Festival Buku Diskon 2007 di Gedung Depdiknas, Jakarta, akhir pekan lalu.

Bagi Rieke, buku adalah bagian dari hidupnya sejak kecil. Saat ia masih anak-anak, orangtuanya tidak memiliki televisi, tetapi ayahnya berlangganan koran dan membeli buku-buku baru setiap bulan. Karena tidak ada hiburan lain, Rieke kecil pun berkubang dengan buku-buku tersebut.

Buku-buku itulah yang memberi inspirasi dan memotivasinya hingga menjadi seperti sekarang. Buku memberi pengalaman yang mendewasakan dia. Ia menyayangkan anak-anak zaman sekarang yang lebih sibuk bermain playstation daripada membaca buku. "Tentu ada pengaruh lingkungan dan keluarga terhadap pembentukan karakter seorang anak," kata Rieke.

Kecintaannya kepada buku itulah yang membuatnya mendirikan penerbitan kecil-kecilan dan masih ada keinginan terpendam untuk membuka toko buku. Ia pun mendirikan Yayasan Pitaloka yang membuat program "Sastra Masuk SMA" sehingga anak-anak SMA tertarik memahami sastra, yang ternyata tidak seperti yang mereka bayangkan selama ini.

"Saat saya di SMA, pelajaran Bahasa Indonesia itu sangat kaku. Kita hanya disuruh menghafal novel Layar Terkembang itu karangan siapa. Itu tidak menarik," katanya.

Taman bacaan

Guna menarik minat baca, kini banyak pihak mendirikan taman bacaan. Mengapa taman bacaan menjadi lebih menarik ketimbang perpustakaan? Itu karena bayangan perpustakaan sebagai suatu tempat yang serius, kotor, berdebu, dengan penjaga yang sudah tua dan berkacamata tebal.

Oleh karena itulah, bentuk taman bacaan lebih banyak dikembangkan. Ini pula yang dilakukan Ganda Purnama, aktivis yang mendirikan perpustakaan komunitas di Cisauk, Tangerang.

Bentuk taman bacaan yang tidak terlalu rapi membuat anak-anak tidak enggan untuk berkunjung dan membaca buku- buku yang disediakan. Bahkan, ia mengajak anak-anak itu untuk makin mengenal lingkungan dengan melakukan kegiatan outbond, mencatat soal binatang semacam serangga serta cara bertani, untuk kemudian mereka tuliskan. Atas usaha anak-anak tersebut, Ganda memberi mereka hadiah-hadiah kecil sebagai penghargaan.

Begitu pula yang dilakukan Soleh Ise, salah seorang pendiri penerbit LKIS di Yogyakarta, yang memilih mendekati anak- anak muda pesantren dan menyemangati mereka menulis.

"Banyak di antara mereka yang berbakat, bahkan sudah menulis. Saat kami melakukan workshop dari pesantren ke pesantren, ternyata bakat-bakat itu mulai terlihat," kata Soleh.

Digunting dari Harian Kompas edisi Selasa, 3 Juli 2007

1 comment: