Monday, September 10, 2007

Komik Lokal, Lemah dalam Menyusun Cerita

Kapan komik lokal kembali berjaya seperti pada tahun 1970-an? Kapan komik lokal kembali menjadi tuan rumah di negeri sendiri? Kenapa saat ini tidak lagi muncul komikus-komikus sehebat RA Kosasih, Ganes Th, Hasjmi, Gerdi Wk, Jair, maupun komikus lain yang dulu pernah sangat dikenal masyarakat? Pertanyaan-pertanyaan itu selalu muncul acap kali festival komik atau kegiatan lain yang berkaitan dengan dunia komik diadakan.

Komik lokal di negeri ini bisa dibilang terpuruk sejak awal tahun 1980-an dan hingga kini masih juga belum terlihat tanda-tanda kebangkitannya. Pertanyaan besarnya, kenapa komik lokal yang dulu pernah berjaya, sangat diminati masyarakat dan menjadi tuan rumah di negeri sendiri, kemudian terpuruk bagai ditelan bumi?

Dalam sesi diskusi bertajuk "Belajar Ngomik dari Larry Gonick", salah satu diskusi yang diadakan dalam Pameran Komik Indonesia Terbaik Satu Dekade awal bulan lalu di Bentara Budaya Jakarta, persoalan seperti itu kembali mengemuka.

Mengapa di Indonesia saat ini tidak muncul komikus hebat sekelas Larry Gonic dengan kartun peradabannya yang terkenal, Hergé dengan serial petualangan si tokoh wartawan Tintin, atau Oshami Tezuka yang dikenal sebagai raja komik manga (komik Jepang). Bahkan, untuk lingkup dalam negeri saja, hingga kini belum muncul komikus yang kuat seperti pada era kejayaan komik pada waktu lampau.

Menurut Nirwan Ahmad Arsuka, pengamat budaya yang juga pencinta komik, ada persoalan eksternal dan internal yang menyebabkan tidak munculnya komikus kuat saat ini.

Di lingkup eksternal komikus, paling tidak ada dua hal yang menjadi persoalan. Pertama, tidak adanya suasana atau atmosfer yang mendukung perkembangan komik. "Profesi menjadi komikus di sini tidak menjanjikan untuk bisa hidup layak. Bagaimana bisa bikin komik yang bagus sementara masih harus mikirin cari uang untuk memenuhi hidup," kata Nirwan.

Sebab yang kedua adalah ada masanya di mana ada perubahan selera konsumen terhadap komik. Hal ini juga ditunjang dengan membanjirnya komik dari luar negeri, terutama manga dari Jepang, yang mempunyai kualitas baik dan ternyata lebih disukai pasar. "Perubahan selera inilah yang agak terlambat diantisipasi komikus kita," ujar Nirwan.

Sementara itu, dari sisi internal, persoalannya adalah masih lemahnya kemampuan komikus lokal dalam membangun sebuah cerita. "Dalam hal cara bercerita atau penceritaan sudah bagus, tetapi dalam membangun cerita yang kuat dan kompleks masih lemah," tutur Nirwan menambahkan.

Hal senada diungkapkan Hikmat Darmawan, seorang pemerhati komik. Menurut Hikmat, dari satu sisi, negeri ini tidak kekurangan komikus yang kuat dari segi teknik dan craft (kekriyaan), tetapi kebanyakan komikus lokal lemah dalam hal produktivitas dan ide. Menyoal produktivitas yang rendah, Hikmat berargumen bahwa hal ini disebabkan masih rendahnya penghargaan masyarakat (pembaca, penerbit, pemerintah) terhadap kerja membuat komik.

"Padahal, komikus kan harus berpenghidupan juga. Nah, kalau kelemahan dari segi ide, ini lebih mendasar lagi. Kebanyakan komikus generasi ketiga yang besar pada masa tahun 2000-an tak punya cerita yang kuat atau menarik," ujar Hikmat.

Dari sisi persoalan eksternal, Hikmat berpendapat bahwa keadaan industri penerbitan dalam negeri secara umum sedang tidak terlalu ramah kepada kreator lokal. "Apalagi industri komik adalah subbagian industri penerbitan yang masih karut-marut. Maka, banyak sekali hambatan bagi seorang komikus lokal agar bisa mencuat ke permukaan," ujar Hikmat.

Beban sosiokultural

Kelemahan komikus lokal dalam hal ide dan membangun cerita yang kuat dan menarik bukanlah persoalan yang sederhana karena persoalan ini tidak bisa lepas dari persoalan fundamental masyarakat atau bangsa secara lebih luas, terutama dalam hal pendidikan. Menurut Hikmat, kondisi itu disebabkan oleh beban sosiokultural di pundak komikus akibat sistem pendidikan nasional yang lemah. Sistem pendidikan selama Orde Baru tidak terlalu menghargai sastra, humaniora, dan bidang-bidang kreatif lain, terkecuali yang bisa menghasilkan uang banyak dalam waktu cepat. Juga tidak terlalu menumbuhkan kebebasan berpikir dan kemampuan untuk kritis.

"Kebanyakan komikus generasi sekarang hanya kreatif dari segi teknis, tapi tak punya gagasan kuat tentang dunia, diri mereka sendiri, hakikat seni yang mereka geluti, atau apa yang bisa mereka atau karya seni mereka berikan kepada masyarakat," kata Hikmat.

Kendati masih banyak kendala dan tantangan yang menggelayuti dunia komik lokal, baik Nirwan maupun Hikmat masih cukup optimistis bahwa komik Indonesia masih ada harapan untuk bangkit pada masa datang mengingat belakangan ini muncul komikus-komikus muda yang cukup "militan" di dunia ini. Persoalannya tinggal bagaimana menciptakan atmosfer yang lebih baik sehingga muncul komik-komik yang berkualitas dan bisa diterima pasar secara luas.

Dan, seperti kata Hikmat, kebangkitan komik lokal hanya bisa dimulai dari kegiatan membuat komik (sebanyak-banyaknya dan sebaiknya), bukan dengan retorika "mari membangkitkan komik lokal". Semoga! (Anung Wendyartaka)

*Digunting dari Harian Kompas Edisi Pustakaloka 10 September 2007


No comments:

Post a Comment